Oleh: Yons Achmad
(Kolumnis, tinggal di Depok)
Ummattv, Di dalam Islam, puasa (ramadan) hanya diwajibkan untuk orang yang beriman saja. Itu sebabnya, iman menjadi sebuah modal dasar yang paling utama sebelum kita benar-benar menjalankan ibadah puasa dengan kesadaran penuh. Sebuah ibadah yang sangat spesial, setahun sekali sebulan penuh.
Tanpa iman, tak ada kewajiban atasnya. Sementara, problem iman sendiri bukan sekadar seseorang punya pengakuan secara teologis akan keberadaan Tuhan, Allah SWT. Akan tetapi lebih dari itu semua. Kita mempertaruhkan keseluruhan hidup hanya kepadaNya.
Artinya apa? Seluruh orientasi hidup tertuju kepadaNya. Sebuah komitmen teologis mengembalikan totalitas kehidupan yang selama ini mungkin telah bergeser orientasinya, untuk kembali pada “Yang Satu”.
Sebuah totalitas komitmen keimanan yang seperti kata Rasulullah, senantiasa mengalami pasang surut. Itu sebabnya, puasa menjadi momentum revolusi spiritual dalam mengobarkan kembali iman kita.
Sebuah upaya agar bagaimana puasa ini bisa kembali menumbuhkan kesadaran iman (faith conciousness) atas kehadiran Allah SWT. Jadi, tak hanya sekadar pembelajaran awam menahan lapar, haus, hubungan seksual semata. Bukan pula sekadar menahan seluruh panca indera dari perbuatan dosa. Lebih dari semua itu.
Seperti Al-Ghazali pernah memberikan nasihat untuk mendaki puncak tertinggi, puasa super khusus (shaum khuwas al-khuwasah) yaitu menggapai kesadaran spiritual tertinggi (the highest conciousness). Sebuah upaya penyingkapan (disclosure) penghadiran Allah SWT dalam diri kita. Hal ini selaras menjadikan puasa dengan fungsi iluminatif, bagaimana seseorang kemudian mendapatkan pencerahan batin (ghayat an-nuraniyyah).
Dengan menjadikan puasa sebagai momentum kesadaran spiritual akan kehadiran Tuhan (omnipresent), Allah SWT dalam setiap detik keseharian kehidupan, maka denganya bakal terbuka sebuah pintu yang lebih dahsyat lagi. Menjadikan hidup kita lebih bermakna (more meaningful).
Dengan menghadirkan Tuhan, Allah SWT dalam kehidupan keseharian, maka akan terbuka pula cara pandang pencerahan kita, di mana cara pandangnya adalah dengan hati (eye of the heart). Hasilnya, dengan penghadiran Allah SWT ini, menjadikan kita juga memandang sekitar, baik alam maupun sesama, seperti bagaimana Allah SWT “memandang”, seluruh ciptaanNya.
Hasilnya apa? Solidaritas sosial terhadap sesama kita menjadi lebih terasah, empati kita terhadap sesama menjadi lebih kuat. Begitu juga kecintaan terhadap alam sekitar menjadi lebih besar lagi.
Begitulah filosofi puasa yang mesti kita resapi bersama-sama. Dengan kesadaran penuh menjadikan puasa ramadan sebagai momentum penghadiran Allah SWT, hasilnya bisa membangkitkan kesadaran, kecintaan yang lebih kuat dan besar terhadap sesama dan alam sekitar. Pertanyaan kecilnya, apakah kesadaran demikian sudah hadir dalam diri kita? []