Muhammad Nurhidayat
Di Indonesia, trend ini pun juga dimanfaatkan oleh sejumlah selebritis. Mereka membuka butik hijab, yang diperuntukkan bagi konsumen dari kalangan muslimah kelas menengah ke atas. Para selebritis perempuan yang ikut berbisnis hijab, ada yang sebelumnya dikenal telah istiqamah berhijab di hadapan publik. Namun ada juga di antara mereka yang masih ‘bongkar pasang’ dalam berhijab, artinya hijab hanya dipakai pada event ritual tertentu saja, seperti pengajian, pernikahan, serta kematian.
Ada sebuah butik yang telah lama dimiliki seorang selebritis perempuan. Semula, hanya pakaian minim saja yang dijual di butik tersebut. Sebab, si selebritis juga dikenal senang berpakaian minim di hadapan publik. Nama panggilan keren-nya dijadikan sebagai merek pakaian minim pada butiknya.
Setelah hijab mulai banyak diminati para muslimah, si selebritis juga ikut-ikutan berjualan hijab di butiknya. Nama keren-nya juga dipakai sebagai merek hijab jualannya. Sehingga merek hijab sama persis dengan merek pakaian minim yang telah lama dijual di butik yang sama.
Setelah hijab mulai banyak diminati para muslimah, banyak selebritis juga ikut-ikutan berhijab atau juga berjualan hijab (IG@shirensungkar)
Dalam berita pariwara yang dimuat sebuah koran harian nasional, si selebritis mengklaim, kalau hijab yang dijualnya dapat menjadi sarana peningkatan keshalehan muslimah masa kini, yang tetap ingin berpenampilan trendy. Ia sendiri pun hingga kini dikenal masih belum berhijab.
Namun, ada yang dirasa kurang pas dari klaim sepihak si selebritis. Lantas, apanya yang dianggap bermasalah? Apakah salah jika hijab dijual oleh selebritis perempuan tak berhijab?
Berdasarkan tinjauan fiqih Islam, bukan sebuah kesalahan apabila hijab dijual oleh selebritis perempuan yang belum berhijab. Hukum asalnya dapat dikatakan mubah (boleh).
Apalagi banyak hijab instan yang dipasarkan di Indonesia, ternyata buatan China. Bahkan, tidak sedikit hijab yang dijual di Mekkah untuk oleh-oleh para jamaah haji dan umrah pun, juga berlabel made in China. Di China sendiri, hijab diproduksi oleh perusahaan-perusahaan garmen yang sebagian besar pemilik dan pekerjanya adalah orang-orang non-muslim.
Jika orang-orang non-muslim saja diperbolehkan memproduksi dan memasarkan hijab, maka seorang muslimah (termasuk para selebritis perempuan) justru lebih pantas berjualan hijab, meskipun mereka sendiri belum memakainya.
Bahkan, jika diniatkan sebagai ibadah, berjualan hijab dapat mendatangkan pahala besar dari Allah swt. Apalagi jika hijab yang dijual benar-benar sesuai syariat, berkualitas bagus, dan harganya relatif terjangkau.
Dengan demikian, akan semakin banyak muslimah yang telah diberi hidayah, menjadi semakin mantap berhijab. Karena hijab sangat mudah didapatkan dengan harga yang tidak memberatkan fulus mereka. Di beberapa kota, ada butik atau toko hijab yang dikelola lembaga dakwah, memberikan diskon besar-besaran bagi para muslimah yang belum berhijab, agar mau berhijab. Bahkan sering pula hijab pada butik atau toko tersebut dibagikan secara gratis kepada kaum muslimah kalangan ekonomi bawah.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Demi Allah, apabila Allah memberi hidayah kepada seseorang melalui dakwahmu, itu lebih baik (pahalanya) daripada kamu mendapatkan unta merah (harta yang paling mahal).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam kajian komunikasi, hijab yang dijual di butik pakaian minim jelas memiliki kredibilitas yang rendah. Apalagi merek hijabnya sama persis dengan merek pakaian minim, yang dikenal bertolak belakang dengan esensi hijab itu sendiri. Citra pakaian minim lebih cocok dilekatkan pada oknum perempuan yang senang ber-tabarruj, memperlihatkan auratnya ke hadapan publik. Sementara itu, hijab lebih pantas disandingkan pada pribadi muslimah shalelah yang menutupi auratnya di hadapan publik.
Selain itu, nama keren si selebritis juga memiliki kredibilitas yang rendah jika dipakai sebagai merek hijab. Sebab secara pribadi, ia dikenal senang berpakaian minim di hadapan publik. Ia pun diketahui khalayak telah berselingkuh dengan lelaki lain, di depan anak-anaknya sendiri. Ia diberitakan rela meninggalkan suami dan anak-anaknya, demi lelaki selingkuhannya. Setelah kawin dengan selingkuhannya pun, ia dikenal sering mem-posting foto selfi-nya sedang berpose tidak senonoh bersama suami barunya, pada akun medsos.
Tentu saja, sangat aneh jika hijab jualan si selebritis tersebut diklaim dapat meningkatkan keshalehan dan kesetiaan pemakaianya. Toh, merek hijab tersebut sebelumnya sudah dianggap sebagai branding dari pakaian minim. Selain itu, merek hijab tersebut juga mengingatkan khalayak tentang seorang selebritis yang dianggap tidak shalehah, juga tidak setia kepada suaminya. Dengan kata lain, oleh publik, perilaku keseharian selebritis tersebut dianggap tidak bermoral.
Bahkan perilakunya juga dinilai bertolak belakang dengan akhlaq seorang muslimah berhijab yang shalehah menurut Islam. Allah swt. berfirman, “Wanita yang shaleh, ialah (wanita) yang taat kepada Allah lagi memelihara diri (setia) ketika suaminya tidak ada (di dekatnya), oleh karena itu Allah telah memelihara mereka.” (QS. An Nisa’ : 34).
Komodifikasi Keshalehan
Fenomena hijab termahal di dunia, maupun hijab yang dijual oleh butik selebritis di atas, menggambarkan adanya komodifikasi keshalehan di masyarakat. Komodifikasi keshalehan dapat diartikan sebagai pemanfaatan keshalehan umat muslim dan muslimah untuk mendapatkan keuntungan materi pribadi yang sebesar-besarnya.
Istilah “komodifikasi” sendiri dapat diartikan sebagai proses pengubahan nilai guna menjadi nilai tukar suatu produk. Nilai produk yang semula hanya ditentukan berdasarkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan primer individu, menjadi ditentukan berdasarkan faktor-faktor lainnya seperti citra yang melekat pada produk yang dijual. (Mosco, 2009)
Penggambaran komodifikasi keshalehan ini juga dicontohkan pada penjualan hijab oleh sebuah butik milik seorang selebritis lainnya, dengan harga per helainya yang mencapai jutaan rupiah. Padahal, menurut sebuah koran harian nasional, kain hijab tersebut di-kulak seharga harga Rp 16.000-an. Setelah diberi sedikit bordiran dan di-branding oleh butik si selebritis, nilai jualnya bisa mencapai lebih dari Rp 1 juta.
Dapat dibayangkan, betapa tingginya perubahan harga sehelai kain hijab, setelah dikomodifikasi. Ini baru harga kain hijab atau kerudungnya saja, belum termasuk gamisnya, yang tentu saja dibandrol dengan harga lebih mahal lagi.
Sejak awal dekade 2000-an, hijab mulai dipakai kalangan muslimah dari berbagai kalangan. Sebelumnya, hijab secara terbatas hanya dipakai oleh muslimah dari kalangan kaum santri. Geertz menyebut kaum santri sebagai umat muslim terpelajar, yang dikenal memiliki kesadaran dalam mempelajari, serta mengamalkan ajaran Islam dengan baik. (Woodward, 2011).
Sejak saat itu, hijab bertransformasi dari identitas keshalehan muslimah kaum santri, menjadi trend mode di kalangan muslimah awam. Esensi hijab yang sesungguhnya, yaitu sebagai penutup aurat, tidak diperhatikan lagi oleh mereka. Sehingga mereka pun tidak peduli, apakah hijab yang dipakai sudah sesuai syariat atau belum. Yang penting mereka bisa berpenampilan trendy, sekaligus juga dianggap sebagai muslimah shalehah modern.
Jadi, hijab trendy yang entah sudah sesuai syariat atau belum, dimanfaatkan mereka untuk meningkatkan prestise sosial. Dengan kata lain, mereka ingin disebut sebagai sosialita muslimah.
Nah, mereka inilah yang dibidik sebagai korban komodifikasi. Para pelaku komodifikasi (komodifikator) sadar, bahwa mulai banyak kaum muslimah kelas menengah ke atas yang dihinggapi semangat berhijab demi prestise sosial. Maka hijab pun diproduksi dan dipasarkan dengan tehnik promosi massif kepada para ‘korban’ komodifikasi.
Para komodifikator sadar, bahwa produk hijabnya akan dibayar meskipun harganya kelewat mahal, dan sangat jauh berbeda dengan harga kulak’an-nya yang sangat murah. Hijab akan tetap dibeli walaupun tampilan fisiknya tidak sesuai syariat. Yang penting para korban tersebut bisa dipuji sebagai sosialita muslimah shalehah.
Dalam pikiran korban, harga yang sangat mahal dianggap tidak bermasalah, jika hijab yang dibelinya bermerek terkenal, atau di-branding dari nama keren selebritis pujaan mereka. Berawal dari fenomena seperti inilah, sehingga praktek komodifikasi keshalehan dapat ‘dihidupkan’. Para komodifikator pun dapat melaksanakan prinsip ekonomi jadul, yaitu dapatkan untung yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya.
Banyaknya ibu muda maupun remaja putri muslimah awam dari kelas menengah ke atas yang dihinggapi semangat memakai hijab hasil rancangan butik milik artis atau desainer terkenal, yang dijual dengan harga mahal dan terlihat trendy, adalah contoh bagaimana simbolisasi keshalehan dimanfaatkan oleh industri mode dalam meraih keuntungan materi sebesar-besarnya. (Ibrahim, 2011).
Fenomena ini semakin menambah ‘PR’ bagi da’i dan para penggiat Islam lainnya, untuk semakin gencar berdakwah, agar kaum muslimah tidak lagi dijadikan sebagai korban komodifikasi. Wallahua’lam.*
Penulis : Da’i / Wakil Ketua Bidang Komunikasi dan Publikasi ICMI Jawa Tengah
Sumber : hidayatullah.com
Tags: hijab, komodifikasi, muslimah