Oleh: Imam Shamsi Ali*
PADA bagian lalu disampaikan bahwa fitnah atau ujian pertama dari kehidupan adalah fitnah atau ujian dalam beragama. Fitnah atau ujian dalam agama tidak saja sebagai ujian pertama. Sesungguhnya sekaligus merupakan dasar dari berbagai ujian kehidupan lainnya. Ketika kehidupan beragama tergoyahkan maka goyah segala fondasi kehidupan manusia.
Hal ini dapat kita lihat pada bagian kedua dari fitnah atau ujian yang disebutkan di Al-Kahf. Yaitu kisah dua pria yang memiliki kebun (jannah). Pria pertama memiliki kebun yang lebih luas, lebih subur, dan menghasilkan lebih banyak. Pria kedua memiliki kebun kecil, kurang subur dan menghasilkan seadanya.
Masalahnya kemudian bukan pada besar kecil, subur gersang, atau banyak dan sedikitnya hasilnya. Karena hal yang seperti ini sudah lazim terjadi dalam setiap usaha bahkan kehidupan secara umum.
Masalahnya ada pada bagaimana masing-masing pemilik kebun itu merespon qadar (pembagian) yang Allah tetapkan baginya. Yang kaya ternyata merespon dengan kekufuran. Tidak saja bahwa dia menjadi angkuh dan merasa lebih (aktsaru). Bahkan merasa mampu mengontrol keadaan sehingga tanamannya tidak akan rusak atau berkurang. Lebih jauh lagi bahkan dunianya menjadikannya ingkar akhirat (maa azhunus sa’ata qaaimah).
Sementara pria yang kedua merespon nikmat Allah (kebun) dengan kesyukuran. Bahkan mengingatkan pria yang kufur tadi untuk sadar. Tapi realitanya pria kaya itu menolak bahkan menyombongkan diri karena kelebihan harta yang dimilikinya.
Kisah pemilik kebun di surah Al-Kahf ini mengingatkan kita tentang dhasyatnya fitnah atau ujian dunia. Bahwa seringkali dunia yang seharusnya menjadi jalan ibadah (mengabdi) kepada Allah justeru menggelincirkan. Dunia galibnya menjadikan manusia lupa atau lalai akan realita kehidupan yang sesungguhnya.
Itulah sebabnya dalam Al-Quran salah satu kata yang identik dengan dunia adalah “lahwun”. Dari kata “lahaa-yalhu-lahwun-wa laahiyah” yang berarti menjadikan lupa. Dunia dengan tabiatnya menjadikan mereka yang memburunya menjadi lupa tentang banyak hal yang mendasar dari kehidupan.
Manusia lupa akan kefitrahannya. Dan karenanya lupa akan Allah. Dan ketika Allah telah terlupakan maka manusia akan lupa tentang dirinya sendiri. “Nasullaha fa ansahum anfusahum” (mereka lupa Allah maka Allah jadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri).
Di saat manusia lupa tentang dirinya maka manusia akan berbuat dalam kehidupan seringkali tidak lagi sejalan dengan tabiatnya (his nature). Bahkan akan melakukan hal-hal yang selain bertentangan dengan tabiatnya sebagai manusia juga medatangkan mudhorat bagi dirinya sendiri.
Selain akan berperilaku yang tidak alami dan bahkan mengantar kepada sesuatu yang “self destructive” (merusak diri sendiri). Lebih jauh bahkan dunia ini akan menjadikannya lupa akan sebuah realita yang paling nyata. Yaitu berakhirnya kehidupan sementara ini yang ditandai dengan berpisahnya ruh dan jasad. Peristiwa ini disebut kematian. Sebuah kenyataan yang paling pasti. Tapi banyak manusia justeru lupa atau dijadikan lupa oleh dunia.
Merespon kepada realita ini Al-Quran menawarkan solusi. Salah satunya dengan konsep dzikir. Konsep yang juga sering disalah pahami atau dipahami secara terbatas oleh manusia. Seolah dzikir itu hanya amalan ritual untuk mengoleksi pahala semata. Padahal dzikir dimaksudkan untuk menghadirkan kesadaran penuh tentang realita kehidupan.
Dzikir menyadarkan tentang Allah, tentang diri sendiri, tentang hakikat kehidupan, dan tentunya tentang visi dan orientasi kehidupan itu. Orang yang punya dzikir itu memiliki kesadaran hidup. Sehingga hidupnya tidak menjadi sebuah perjalanan hampa seolah tidak punya makna dan tujuan.
Itulah yang dimaksud Rasulullah SAW ketika bersabda: “perumpamaan orang-orang yang mengingat Tuhannya dan mereka yang tidak ingat Tuhannya bagaikan orang yang hidup dan orang yang mati”.
Dengan dzikir manusia hidup dengan Kesadaran. Tapi dzikir manusia boleh jadi hidup tapi tidak dengan kesadaran. Hilangnya kesadaran dalam kehidupan itulah sesungguhnya kematian.
Karenanya carilah dunia ini. Bangunlah dunia ini. Tapi semuanya harus dibarengi oleh dzikir (kesadaran). Sebagaimana di Surah Al-Jumu’ah Allah mengingatkan: “dan jika sholat telah ditunaikan maka bertebaranlah kamu di atas bumi ini dan carilah keutamaan Allah. Dan dzikirlah (sadarlah) kepada Allah dengan banyak. Mudah-mudahan kamu bisa menjadi sukses” (Al-Jumu’ah: 10).
Inilah fitnah kedua yang disampaikan oleh Surah Al-Kahf. Yaitu fitnah atau ujian dunia yang dapat menggelicirkan dan menghancurkan kehidupan manusia. Semoga Allah menjaga kita. Aamiin.**
*Presiden Nusantara Foundation