Oleh: Ustadzah. Fauziah Ramdani
(Dosen Stiba Makassar, Ketua Forum Muslimah Dakwah Kampus Indonesia & Penulis Buku “Muslimah Anti Viral”)
“Sebuah video singkat mempertunjukan seorang wanita tengah asyik berjoget didepan layar android. Sembari diikuti oleh temannya dengan goyangan ,badan dilenggak-lenggokan. Mereka turut memperagakan klip narasi sebuah lagu yang populer. Tik-tok aplikasinya, mampu meriuhkan jagad maya, trend baru bersosial media yang telah menyentuh semua kalangan, anak-anak, remaja, dewasa hingga para lansia.”
Zaman yang semakin modern,fenomena digital yang ditandai dengan pesatnya kebutuhan manusia terhadap akses internet menjadi hal yang tidak dapat terelekkan lagi saat ini. Salah satu hal yang ikut mempengaruhi perilaku penikmat media sosial diantaranya muslimah adalah ketika sikap dan rasa malu mulai terkikis.
Rasa malu adalah perhiasan berharga yang mutlak dimiliki oleh setiap muslimah. Kita bisa bayangkan bagaimana eksistensi perempuan di era awal kehidupan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang terkenal teguh menerapkan sifat malu. Eloknya sikap malu yang terpatri pada putri Abu Bakar, yaitu Asma’. Sejarah mencatat, suatu ketika, ia pernah menghindar lantaran malu bertemu segerombol sahabat dari kalangan Anshar. Bahkan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun menyarankannya agar mengambil arah lain.
Mengapa harus berhias dengan Rasa Malu?
Perempuan dengan sifat malu yang berhias pada dirinya akan mempertegas kehormatan dan identitas dirinya sebagai perempuan. Muslimah dengan sifat malu , akan mampu menyetir dirinya dan menempatkannya secara proporsional. Muslimah dengan sifat malu bak mutiara didasar laut yang dalam, langka dan menggiurkan setiap mata. Pesan yang terpatri dalam agama betap sifat malu membawa keselamatan dan keberkahan hidup seseorang. Perangai atau sifat malu menjadi rambu-rambu bagi pemiliknya agar memilih jalan melangkah menuju kebaikan juga berhati-hati atau atau bahkan menghentikan perjalanannya jika yang dituju hanya akan mengundang kesia-siaan bagi kualitas iman dan takwanya. Sebuah hadist yang mahsyur menjelaskan kepada kita, dari Abu Mas’ud bin Amr al-Anshari al-Badri Radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya sebagian yang masih diingat orang dari ajaran para Nabi terdahulu, adalah, ‘Jika tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari no. 3483, 3484, 6120)
Untuk terus menumbuhkan sifat malu tentu bukanlah perkara yang gampang. Fenomena ketidakmampuan muslimah menghiasi dirinya dengan sifat malu menjadi salah satu ujian besar betapa tidak mudah untuk bisa eksis dengan rasa malu ini. Jika masih banyak muslimah yang menunjukkan perangai kasar, kalimat yang menohok, mengumbar kemesraan baik dengan pasangan yang halal dihadapan publik dan bahkan di jagad maya dengan pasangan yang haram, berpakaian tidak etis, bahagia dengan pergaulan serba bebas dan saling menampakkan aurat hingga menunjukkan transpransi mengkonsumsi alkohol atau menghisap sebatang rokok. Atas dasar argumen kebebasan ekspresi dan membahagiakan jiwa begitu mudah menabrak nilai-nilai normatif dan agama. Mengapa hal ini bisa terjadi? Dan bagaimana langkah-langkah konstruktif yang menjadi solusi terbaik bagi fenomena ini?
Seringkali kita mendengar dan bahkan menghafal salah satu hadist nabi yang secara singkat menjelaskaN tentang salah satu cabang keimanan yakni sifat malu. “Malu itu sebagian dari iman”. Sifat malu dan iman akan melarang orang untuk melakukan sesuatu yang buruk. Malu dan iman akan mendorong untuk berbuat yang ma’ruf. Sebagaimana iman juga akan menolak dari kejelakan dan mendorong kita untuk berbuat taat. Maka sifat malu kedudukannya sama dengan iman, Beriringan mencegah diri untuk berbuat kejelekan dan sama-sama mendorong kepada kebaikan.
Sederet solusi yang bisa di aplikasikan untuk menanamkan rasa malu bagi muslimah sejak dini. Banyaknya fenomena yang justru melanggar nilai-nilai kemuliaan dan kehormatan diri perempuan bisa terjadi karena hal yang paling asasi terlupakan, hal mendasar bagi setiap muslimah untuk ditanamkan dan dijaga dengan baik. Menanamkan keimanan dalam pribadi anak-anak perempuan sedini mungkin. Bahkan sebelum mereka baliq. Bagaimana perempuan di didik untuk menjaga dirinya, tidak membiasakan untuk berpakaian ‘serba terbuka’, menjaga adab dan sopan-santun baik kepada yang tua dan atau seusianya. Karena yang kita perlu renungi bahwa keimanan ini melebihi segalanya. Dengan iman tersebut, seorang hamba akan tergiring untuk malu. Ketika turun perintah berjilbab dalam surah An-Nur segenap sahabiyah berlomba-lomba menarik kain yang ada disekitar mereka agar tubuhnya tertutupi dengan rapat tanpa ada lagi yang bisa menengoknya.
Selanjutnya adalah berusaha untuk menciptakan pendidikan yang kondusif,setidaknya di level mendasar tetapi sangat menentukan arah kehidupan perempuan yakni institusi keluarga. Para orang tua berkewajiban memberikan pemahaman yang memadai perihal pentingnya rasa malu bagi anak perempuan mereka. Bukan seolah sibuk dengan rutinitas pekerjaan tanpa memerhatikan lagi apa yang terjadi dengan anak-anak perempuannya di dalam rumah dan diluar rumah. Memberi teladan yang baik kepada mereka. Bukan dalam rangka untuk dipuji tetapi atas dasar kewajiban sebagai ayah dan ibu.
Sungguh keteladanan akan memancing simpati dan ketertarikan. Mari kita belajar dari pengalaman bahwa tidak sedikit institusi pendidikan yang bersifat formal gagal lantaran nihil keteladanan dan pengawasan. Memulai diri untuk menanamkan sifat malu dan terbiasa menjaganya justru akan mengantarkan kita pada konsep hidup yang tenang dan sarat ketaatan. Mulailah belajar dan mendidik perempuan yang ada disekitarmu dengan sifat malu bersama teladan yang mulia tanpa harus dengan cara kekerasan dan keterpaksaan.
Wallahu’alam.*