Lima Langkah Menjadi Intelektual Sejati

Lima Langkah Menjadi Intelektual Sejati

Seorang intelektual sejati tidak hanya rajin membaca referensi-referensi pada bidang ilmu yang digelutinya saja, tetapi juga referensi-referensi dari sejumlah bidang ilmu lainnya.

oleh: Muh. Zaitun Rasmin

UMMATTV.ID JAKARTA - Kehadiran seorang intelektual sejati sangat dibutuhkan masyarakat di seluruh dunia ini, tidak terkecuali di Indonesia. Sebab masyarakat membutuhkan bimbingan dari seorang intelektual agar mereka bisa mencapai harapan-harapan dan cita-cita kolektif mereka, bahkan agar dapat mengatasi berbagai problematika yang dihadapi mereka.

Sejak zaman dahulu, seorang intelektual memperoleh kedudukan yang sangat mulia, meskipun ia tidak dilahirkan dari kalangan bangsawan. Intelektual sejati dapat diartikan sebagai seorang yang mampu memadukan potensi kecerdasan dan kepintarannya untuk melakukan perubahan-perubahan yang bersifat positif di masyarakat.

Perubahan-perubahan positif tersebut dilakukan dengan tetap berada dalam koridor syariat Allah swt. Sehingga dalam pandangan Islam, para intelektual sejati dikenal dengan istilah ulul albab.

Cita-cita menjadi intelektual sejati perlu dimiliki oleh umat Islam, terutama generasi muda. Saluran-saluran status yang dapat dipakai untuk mencapai cita-cita tersebut adalah dengan menjadi ulama, ilmuwan, muslihun, serta teknokrat yang itqan di bidang masing-masing.

Agar bisa menjadi intelektual sejati, ada lima langkah yang harus dilakukan. Langkah pertama adalah rajin membaca. Wahyu pertama yang diberikan Allah swt. kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad saw. adalah perintah untuk membaca.
Allah swt. berfirman, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhan-Mu…” (QS. al-‘Alaq : 1). Dengan demikian, seorang intelektual sejati memiliki kegemaran atau rajin membaca, karena aktivitas tersebut merupakan ibadah penting yang telah diperintahkan Allah swt. dan rasul-Nya.

Seorang intelektual sejati tidak hanya rajin membaca referensi-referensi pada bidang ilmu yang digelutinya saja, tetapi juga referensi-referensi dari sejumlah bidang ilmu lainnya. Tentu saja intensitas membaca referensi pada bidang yang digeluti jauh lebih banyak, demi memperdalam keahliannya. Ia sangat menyadari pentingnya profesionalitas yang tentu juga diperintahkan Islam.

Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, (ia) mengerjakannya secara profesional.” (HR. Thabrani No. 891).

Sementara itu, referensi-referensi dari bidang ilmu lainnya dibaca seorang intelektual sejati sebagai pelengkap dalam memperluas pengetahuan dan wawasannya. Tidak hanya rajin membaca saja, intelektual sejati akan selalu selektif dengan informasi-informasi apa saja yang akan dibacanya. Ia akan menghindari informasi-informasi yang tidak bermanfaat baginya maupun bagi masyarakat yang dibimbingnya.

Langkah kedua, berfikir objektif. Seorang intelektual sejati pada umumnya mulai diajari berfikir objektif pada waktu remaja, ketika berada pada tingkat pendidikan SMP dan SMA. Selanjutnya, prinsip-prinsip objektivitas melalui metode ilmiah model positivisme semakin disempurnakan sewaktu ia berada pada tingkat pendidikan tinggi. Prinsip-prinsip tersebut tetap akan dimiliki seorang intelektual sejati hingga akhir hayatnya.

Langkah berfikir objektif inilah yang membuat intelektual sejati senantiasa dibutuhkan masyarakat. Sebab, dengan langkah ini, ia dapat menganalisis hingga merumuskan solusi atas setiap problematika yang dihadapi masyarakat.

Dalam menanggapi informasi yang tentang suatu pihak misalnya, seorang intelektual sejati akan menjauhi perasaan emosional, sehingga pikiran, ucapan, dan sikapnya didasarkan pada objektivitas. Dengan demikian, ia tidak akan mendukung informasi yang tidak jelas sumbernya dan diduga kuat sebagai berita palsu (hoax), maupun informasi yang menyelisihi logika maupun kaidah ilmiah.

Ia tidak langsung percaya terhadap informasi-informasi yang demikian, namun menelitinya terlebih dahulu, sebagaimana panduan tabayyun dalam menerima informasi yang diajarkan al-Qur’an.

Allah swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian orang fasik yang membawa berita, maka periksalah dahulu dengan teliti, agar kalian tidak menuduh suatu kaum dengan kebodohan, lalu kalian menyesal akibat perbuatan yang kalian lakukan.” (QS. al-Hujurah : 6).

Langkah ketiga, bertindak kreatif. Intelektual sejati dikenal sebagai pribadi yang ‘banyak akal’ karena mampu memadukan kecerdasan dan kepintarannya. Sehingga ia akan bertindak kreatif dalam mencapai cita-cita maupun menghadapi masalah yang menurut banyak orang sulit dipecahkan.

Baginya, kelemahan yang ada dapat dijadikan sebagai sumber kekuatan. Ide-ide cerdasnya tidak berhenti meskipun diperhadapkan pada masalah besar.

Langkah keempat, bersemangat dalam belajar dan mengajarkan al-Qur’an. Artinya, al-Qur’an dijadikan sebagai referensi utama oleh seorang intelektual sejati dalam memperdalam ilmu serta memperluas wawasannya. Ia menyadari bahwa jika dibaca dan dipelajari kandungannya, kitab suci tersebut dapat melahirkan para intelektual sejati.

Sehingga ia tidak hanya bersemangat dalam mempelajari al-Qur’an saja, tetapi kitab suci tersebut juga diajarkan kepada masyarakat di sekitarnya.

Allah swt. berfirman, “Jadilah kamu seorang robbani, karena kamu mengajarkan kitab (al-Qur’an) dan karena kamu mempelajarinya.” (QS. Ali Imran : 79).

Pada ayat lainnya, Allah swt. berfirman, “Ini adalah sebuah kitab (al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka mempelajari ayat-ayatnya, dan supaya mendapatkan pelajaran (bagi) orang-orang yang berfikir.” (QS. Shad : 29).

Langkah kelima, bersifat peduli dan pejuang. Seorang intelektual sejati memiliki himmah ‘aliyah (cita-cita tinggi) untuk memperbaiki masyarakat ke arah positif yang diridhai Allah swt. Cita-cita tersebut dilandasi sifat pedulinya yang sangat besar, agar cahaya kebenaran yang diyakininya bisa menyebar ke tengah masyarakat luas.

Dengan demikian, seorang intelektual tidak hanya ingin menjadi shaleh sendirian saja, tetapi ia juga ingin menjadi mushlih, ingin menjadikan masyarakat di sekitarnya juga menjadi shaleh yang dinaungi cahaya kebenaran.

Sebagai pribadi yang bersifat peduli, seorang intelektual juga memiliki sifat pejuang. Ia menyadari, bahwa ada pihak-pihak tertentu yang tidak menyukai penyebaran cahaya kebenaran kepada masyarakat tersebut. Sehingga ia akan terus berjuang keras, cerdas, dan ikhlas, agar cahaya kebenaran terus menyinari masyarakat, meskipun ia ditentang oleh pihak-pihak tertentu yang tidak menyukai usahanya. Wallahu a’lam.*

Penulis adalah Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI Pusat. Tulisan diadaptasi dari materi ceramah seminar nasional bertema “Jalan Hidup Intelektual Sejati” yang diselenggarakan secara daring via aplikasi Zoom oleh gabungan lembaga dakwah kampus se-Indonesia pada Ahad, 27 Juni 2021

Sumber : hidayatullah.com

Sebelumnya :
Selanjutnya :