ARM HA-IPB kehilangan sosok pemimpin yang selalu mampu menularkan semangat kegembiraan kepada organisasi. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia kehilangan salah satu kakinya yang lincah. Para alumni IPB kehilangan sahabat terbaiknya.
Oleh: Agi Betha Isnaeny (alumni IPB; anggota Dewan Pengawas ARM HA-IPB)
Siapapun yang ingin menuliskan memori tentang sosok yang satu ini, pasti akan bingung hendak memulainya dari mana. Sulit memilih peristiwa yang terpenting, karena hampir seluruh jejak kehidupannya begitu berharga.
Mas Nurbowo, lelaki Jawa berpenampilan sederhana. Ia wafat pada Rabu dini hari, 2 Desember 2020, ketika sedang melakukan kegiatan safari dakwah yang dicintainya.
Sebagian sahabat memanggilnya kang, yai, ustadz, banyak sekali julukannya. Tapi dari semua atribut panggilan itu, sepertinya yang paling tepat adalah julukan guru.
Guru Bowo adalah guru bagi semua orang yang mengenalnya. Ia adalah guru dakwah, guru menulis, guru manajemen kehumasan, gurunya para aktivis dan relawan, serta guru mitigasi dan tanggap darurat bencana.
Sedangkan bagi sebagian orang lainnya, Mas Bowo adalah guru kesabaran dan kesederhanaan. Ia mencontohkan kepada teman-temannya tentang bagaimana cara merangkul lawan tanpa menyakiti, dan bagaimana memenangkan sebuah pertarungan idealisme tanpa merasa jadi pahlawan.
Dengan semua kepiawaiannya itu, menjadi sangat jelas mengapa Mas Bowo 'dipaksa' menjadi Ketua Umum Aksi Relawan Mandiri (ARM) Himpunan Alumni IPB periode pertama. Karena ia adalah guru. Di dalam dirinya melekat keteladanan. Ia adalah contoh manusia yang istiqomah kepada jalan kemanusiaan yang menjadi pilihan hidupnya.
Berbekal pengalaman luasnya, maka Guru Bowo harus membuat cetak biru ARM. Ia wajib mengajari para anggota ARM tentang bagaimana sebuah lembaga nirlaba kemanusiaan dan kebencanaan yang baru menetas itu dapat langsung berlari, tanpa harus belajar merangkak.
ARM yang merupakan badan otonom bentukan Himpunan Alumni IPB yang baru diresmikan pada tanggal 10 Desember 2019. Namun organisasi relawan yang memiliki visi 'Bermartabat Menebar Manfaat' ini mempunyai misi menjadikan alumni dan organisasi sebagai elemen pemasyarakatan kebajikan secara seluas-luasnya. Kala itu Nurbowo menuturkan, "Program yang dilakukan ARM ini menyentuh seluruh fase kebencanaan, yaitu mitigasi, tanggap bencana, pemulihan (recovery), dan pembangunan kembali atau rekonstruksi."
Jika nama-nama Pengurus HA-IPB seperti Ketua Umum Fathan Kamil, Sekjen Walneg S. Jas, Emy Mupid, Agus Rusli, dan Ali Fathoni adalah penggagas serta para bidan yang menggodok lahirnya ARM, maka Nurbowo bisa disebut sebagai dokternya. Ia bersama sahabatnya Ahmad Husein, yang berpengalaman sebagai jurnalis dan pejabat di Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC), menjadi otak penggerak dari jabang bayi yang baru dilahirkan. Di masa awal berdirinya ARM, kedua sejoli itu seperti sepasang tangan kanan dan kiri yang saling melengkapi.
Mengapa para pendiri ARM begitu perlu mendaulat Mas Bowo yang sehari-hari sudah sangat sibuk dengan aktivitasnya sebagai pengurus di Dewan Dakwah Indonesia pusat? Itu karena ARM adalah sebuah organisasi kemanusiaan yang unik.
Sebetulnya di berbagai universitas lain di Indonesia telah banyak organisasi tanggap darurat bencana yang memiliki misi serupa seperti ARM IPB. Bedanya, ARM murni lahir dari tangan para alumnus IPB yang tergabung dalam wadah Himpunan Alumni IPB sebagai hasil pemikiran mereka yang merasa memiliki energi lebih untuk menolong sesama. ARM ingin mendarmabaktikan kekuatan sosial berupa jaringan alumni yang luas di seluruh penjuru negeri, kepada setiap peristiwa bencana yang menimpa tanah air tercinta ini.
Dalam diskusi antara para pemangkunya, ARM IPB bercita-cita tinggi untuk tidak hanya hadir sesaat setelah bencana melainkan juga harus dapat menjadi kepanjangan tangan yang amanah bagi penyaluran bantuan kepada para penyintas bencana yang selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, harus hidup di tenda-tenda pengungsian. Kiprahnya tidak sekadar membangun fasilitas MCK, melainkan juga memikirkan cara agar penduduk sebuah peradaban kecil di kaki gunung nan terpencil, misalnya, dapat merajut kembali harapan hidup, jauh setelah riuh rendah tanggap darurat berlalu. ARM bermimpi tetap terus mendampingi dan memantau para penyintas bencana yang hidupnya terlanjur luluh lantak, ketika media dan sorot kamera sudah pergi meninggalkan lokasi.
Salah satu program kerja terpenting pascabencana yang ingin digarap ARM adalah bidang Ekonomi, yakni program stimulus untuk UKM serta pendampingan kepada petani, peternak, pekebun dan nelayan yang terdampak. Sedangkan bidang kemanusiaan dan pendidikan mencakup pembentukan 'Alumni Siaga Bencana' dan melakukan pelatihan penanggulangan bencana dengan target civitas akademik, alumni IPB, dan masyarakat di lokasi bencana.
Atas dasar memiliki mimpi yang tinggi itulah maka ARM harus memiliki dana abadi dan harus dapat memperlakukan para relawannya secara profesional. ARM sejak awal wajib membangun sistem audit mandiri yang akuntabel dan kredibel, sebelum auditor profesional meneliti kinerjanya. Pendeknya, ARM harus mampu membuktikan diri sebagai saluran yang amanah bagi para mitra dan masyarakat donaturnya.
Untuk mencapai semua harapan itu, ARM memerlukan komando dari sosok yang tidak saja sanggup bekerja profesional. Hidup pribadi kesehariannya pun harus seperti organisasi yang dipimpinnya, sama-sama kredibel dan akuntabel. Tidak boleh ada jejak hitam dalam riwayatnya. Dan persyaratan itu ada pada Nurbowo.
Siapa Nurbowo? Meski sama-sama pernah mengenyam pendidikan di IPB, mungkin banyak juga yang belum mengenalnya , atau tidak mengetahui sepak terjang beliau, yang tercatat sebagai mahasiswa angkatan 24 (masuk tahun 1987) Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan. Patut dimaklumi, karena nama Nurbowo tidak renyah untuk diperbincangkan oleh kalangan cafe addict atau high lifestyle minded. Mas Bowo adalah sosok sederhana, baik dari penampilan maupun wajahnya. Bersahaja dengan ide-ide yang megah. Mereka yang pernah bertemu dengannya akan langsung paham bahwa Bowo adalah orang lapangan. Kerut-merut dalam di wajahnya seolah mewakili setiap tugas kemanusiaan yang telah dijangkau oleh kedua tangannya.
Cita-cita kemanusiaan Nurbowo jauh menjulang jika dibandingkan dengan tinggi badannya yang hanya sekitar 165 cm. Kedua kaki kecilnya itu menjadi barang mewah karena mampu menjangkau dusun dan pulau-pulau di perbatasan, yang namanya tak dikenal khalayak. Mas Bowo tidak pernah lelah berdakwah sekaligus menyalurkan bantuan ke pelosok-pelosok yang kebanyakan para wakil rakyat setempat pun tidak paham peta kemiskinan di sana.
Selama satu tahun memimpin ARM, Nurbowo dan tim telah menjejakkan misi kemanusiaan di berbagai daerah bencana seperti kebakaran hutan di Riau, gempa Ambon, banjir besar awal tahun di Jabodetabek, banjir dan longsor Garut, penanganan dampak ekonomi Covid-19, dan berbagai misi kemanusiaan lainnya.
ARM dengan cepat dilirik oleh para mitra, baik para donatur potensial, sesama LSM bidang kemanusiaan, maupun pemerintah pusat dan daerah. Bayi yang secara resmi belum genap satu tahun ini menjelma menjadi lembaga yang dianggap matang dan diakui keberadaannya di kancah nasional.
Jauh sebelum menakhodai ARM, nama Nurbowo sebagai relawan telah lama hadir hampir di semua operasi penanggulangan bencana alam besar yang terjadi di seluruh Indonesia. Kisah penulis yang juga pecinta tugas kemanusiaan ini dimulai sejak ia masih menjadi mahasiswa IPB. Dan berlanjut pada tahun 1990-an saat ia menjabat Pemimpin Redaksi Jurnal Halal LPPOM MUI, lalu menjadi amil sekaligus jurnalis di Dompet Dhuafa. Ia sempat mendirikan dan memimpin berbagai media, sebelum akhirnya bergabung dengan LAZNAS Dewan Dakwah. Tugasnya termasuk mengurusi media dan kehumasan. Hingga terakhir nama Nurbowo tercatat sebagai Ketua Bidang Kominfo Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang kini dipimpin oleh Dr. Adian Husaini.
Saat terjadi bencana seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir, dan berbagai bencana alam lainnya, Mas Bowo bersama LAZ Dewan Dakwah hadir mengurusi para korban, mulai menyalurkan bantuan makanan, sandang, kebutuhan medis, perlengkapan ibadah dan sekolah, hingga memetakan dan membangun kembali masjid-masjid yang roboh dan rumah penduduk yang rusak. Ia orang yang lentur dalam membangun kerjasama dengan berbagai pihak di lapangan.
Misi kemanusiaan yang pernah dilakukan Mas Bowo tidak hanya di Indonesia, tapi menjangkau hingga ke perkampungan Muslim Rohingya di Myanmar. Ia tidak hanya datang membantu para pengungsi yang jiwanya terancam, tapi juga mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri mengingat junta militer di sana sangat anti orang asing meski kehadirannya membawa misi kemanusiaan.
Jika sedang tidak terjadi bencana, maka yang dilakukan Mas Bowo dan tim adalah melakukan safari dakwah. Seperti mengembangkan pendidikan, mengunjungi fasilitas pendidikan di pulau-pulau terpencil, dan menyambangi masyarakat yang memerlukan pendampingan.
Pandemi yang merebak pun tak dapat menghentikan langkah sosok periang yang berhati lembut ini. Ketika orang lain memilih untuk menghentikan ritme kegiatan hidupnya, Mas Bowo justru lincah mendatangi kampung-kampung miskin yang rawan. Meski memiliki riwayat sakit jantung dan berkali-kali telah diingatkan oleh dokter agar banyak beristirahat, ia tetap berkeliling melaksanakan tugas kemanusian.
Bersama LAZNAS-nya, lelaki berusia 52 tahun ini mengawali era pandemi covid 19 dengan sigap. Ia paham Covid-19 akan menjadi sebuah bencana besar kemanusiaan. Maka sejak dini, pada Bulan Maret 2020 lalu ia telah menggelar berbagai program sosialisasi dan tanggap darurat virus corona. Salah satunya dengan mengaktifkan fungsi masjid sebagai tempat pendidikan dan penyuluhan soal pandemi. Seperti yang dilakukan di Masjid Prana Sakti, yang terletak di Dusun Ngepet, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Dalam sejarahnya, masjid itu sempat kehilangan auranya sebagai rumah Allah akibat tenggelam oleh hiruk-pikuk kehidupan wisata pantai yang kental dengan budaya maksiat. Berkat bantuan tim DDII, masyarakat di sana dapat mengembalikan fungsi masjid sebagai tempat beribadah serta melakukan fungsi sosial kemasyarakatan di kala pandemi.
Sepekan terakhir sebelum ajal menjemput, Mas Bowo sedang berkeliling bersama tim Dewan Da'wah. Pada Hari Sabtu, 28 November 2020, ia berada di Palembang mengikuti Pelantikan Pengurus Baru Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII) Sumatera Selatan di rumah dinas gubernur. Ini penting karena lembaga tempatnya mengabdi itu menjadi mitra pemerintah setempat dalam melahirkan calon-calon pemimpin bangsa melalui banyak pesantren yang diasuhnya. Dari Palembang ia menuju Bengkulu.
Senin, 30 November 2020, Mas Bowo mendampingi Ketua Umum DDII yang baru, Dr. Adian Husaini, meresmikan pendirian Akademi Dakwah Indonesia (ADI) di Bengkulu yang merupakan lembaga pendidikan program diploma 2.
Esok harinya, 1 Desember 2020, ia memilih memisahkan diri dari tim untuk menempuh perjalanan ke Padang, memenuhi undangan Dinas Pariwisata untuk promosi wisata halal. Menjelang tengah malam, bus travel yang ia tumpangi melewai kawasan Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Di lokasi terakhir inilah Sang Khalik rupanya memutuskan bahwa tugas Mas Bowo di dunia telah selesai.
Maut menjemput ketika Mas Bowo sedang berada di tengah ladang pengabdiannya, dekat dengan masyarakat yang dibantunya, serta dikelilingi oleh teman-teman seperjuangannya.
Karya kemanusiaan Mas Bowo boleh jadi tak banyak tercatat di buku besar manusia. Tapi jika kita bisa bertanya kepada malaikat yg selalu mendampingi orang-orang baik, mungkin malaikat pun sudah berat membawa buku tebal yang berisi catatan amal almarhum selama hidup di dunia.
ARM HA-IPB kehilangan sosok pemimpin yang selalu mampu menularkan semangat kegembiraan kepada organisasi. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia kehilangan salah satu kakinya yang lincah. Para alumni IPB kehilangan sahabat terbaiknya. Negeri yang masih dibalut kemiskinan seperti Indonesia kehilangan sosoknya yang tak kenal lelah berjuang di lapangan.
Selamat jalan Mas Nurbowo, sosok bersahaja di atas bumi yang karya besarnya dicatat oleh langit.
#MengenangKetumARM_2