UMMATTV JAKARTA--Beberapa waktu terkahir, masyarakat diramaikan dengan adanya aturan pemerintah untuk memasukkan industri minuman keras (miras) sebagai daftar positif investasi (DPI). Hal ini menuai pro dan kontra, utamanya di kalangan konsumen muslim. Atas masukan dari berbagai ormas keislaman, Pemerintah akhirnya mencabut aturan tersebut.
Bagaimana jika miras tersebut mengklaim tidak mengandung bahan haram dan alkohol? Apakah dapat disertifikasi halal?
Ketua Komisi Fatwa (KF) MUI periode 2015-2020, Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA., menegaskan bahwa miras tak dapat dilakukan sertifikasi halal. Pihaknya menekankan tidak akan memproses sertifikasi halal untuk produk tasyabbuh atau menyerupai dengan produk yang diharamkan dalam Islam. Artinya, miras tersebut di atas, meskipun diklaim tanpa alkohol.
Sikap Komisi Fatwa tersebut, sebelumnya juga pernah ditegaskan ketika pada 2015 lalu, membahas pengajuan sertifikasi halal dari perusahaan produsen minuman. Namun karena produk yang dihasilkannya tasyabbuh dengan produk bir yang telah disepakati keharamannya oleh para ulama di MUI, maka pengajuan tersebut ditolak.
“Ada satu produk yang dari sisi bahan maupun proses produksi yang dipergunakan tidak ada masalah dalam aspek kehalalannya. Namun dalam telaah KF MUI, produk itu menyerupai minuman bir yang telah disepakati diharamkan dalam Islam, baik warna, rasa, aroma, bahkan juga kemasan botolnya. Kami tidak memproses sertifikasi halal yang diajukan perusahaan itu, walaupun kami juga tidak menyatakan produk tersebut haram. Karena memang tidak mempergunakan bahan yang haram,” tuturnya.
Sebelumnya, ada pula perusahaan yang membuat permen (gula-gula) untuk anak-anak. Tapi bentuk permen itu menyerupai bentuk ular. MUI tidak mengharamkan produk itu. Namun juga tidak memberikan sertifikat halal. Hal ini dimaksudkan guna menjaga dan menghindarkan sikap yang mungkin timbul berikutnya.
Sikap Komisi Fatwa, menurut Hasanuddin, antara lain untuk menjaga jangan sampai anak-anak jadi terbiasa mengonsumsi produk makanan, minuman atau jajanan permen yang bentuknya menyerupai barang atau binatang haram. Jika hal tersebut dibiarkan, lanjutnya, akan timbul persepsi keliru di benak si anak, bahwa memakan ular itu tidak dilarang dalam agama. “Dalam kaidah syariah larangan ini sebagai aspek saddudz-dzari’ah, langkah pencegahan agar tidak terperosok dalam perbuatan maksiat yang diharamkan,” tukasnya.
Direktur Eksekutif LPPOM MUI, Ir. Muti Arintawati, M.Si menegaskan bahwa produk miras tidak akan pernah mendapatkan sertifikat halal MUI. “Tidak benar kalau ada miras yang sudah bersertifikat halal MUI. Kami tidak mungkin melayani pendaftaran sertifikasi halal untuk produk seperti itu,” ungkapnya.
Muti merujuk pada Surat Keputusan Direktur LPPOM MUI Nomor 46 Tahun 2014 tentang Ketentuan Penulisan Nama Produk dan Bentuk Produk. Selain SK Direksi, ada juga Kriteria Sistem Jaminan Halal (SJH) yang menjadi panduan bagi seluruh auditor halal LPPOM MUI dalam melayani sertifikasi halal.
Di dalam Kriteria SJH pada bagian “Produk”, ditegaskan bahwa karakteristik/profil sensori produk tidak boleh memiliki kecenderungan bau atau rasa yang mengarah kepada produk haram atau yang telah dinyatakan haram berdasarkan fatwa MUI.
Adapun SK Direktur LPPOM MUI secara rinci menjelaskan bahwa nama produk yang tidak dapat disertifikasi meliputi nama produk yang mengandung nama minuman keras. Di kelompok ini, wine non alkohol, sampanye, rootbeer, es krim rasa rhum raisin, dan bir 0% alkohol, pasti tak bisa lolos sertifikasi halal.
Nama produk yang mengandung nama babi dan anjing serta turunannya, seperti babi panggang, babi goreng, beef bacon, hamburger, hotdog. Meskipun tidak menggunakan bahan yang berasal dari babi dan turunannya, penamaan produk seperti di atas, juga tak bisa dilakukan sertifikasi halal.
Larangan lain yang tertuang dalam SK tersebut adalah nama produk yang mengandung nama setan seperti rawon setan, es pocong, mie ayam kuntilanak. Sama seperti point di atas, nama-nama ini juga tak bisa lolos. Begitu juga nama produk yang mengarah kepada hal-hal yang menimbulkan kekufuran dan kebatilan, seperti coklat Valentine, biskuit Natal, mie Gong Xi Fa Cai, serta nama produk yang mengandung kata-kata yang berkonotasi erotis, wlgar dan/atau porno.
Namun, ketentuan di atas terdapat pengecualian, sehingga tidak berlaku untuk produk yang telah menjadi tradisi, atau dikenal secara luas dan dipastikan tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan. Misalnya bir pletok, bakso, bakmi, bakwan, bakpia dan bakpao.
Di sisi lain, ada juga merek produk yang mengandung nama produk haram lainnya, tapi dibolehkan untuk disertifikasi. Misalnya merek Garuda, Bear, Crocodile, Cap Badak. Nama produk yang mengandung kata sexy dan sensual tapi boleh disertifikasi, contohnya lipstick sexy pinky, lotion sensual amber, dan spa sensual. Tapi, ketentuan tersebut melarang penggunaan bentuk hewan babi dan anjing untuk produk yang akan disertifikasi halal. Bentuk produk atau label kemasan yang sifatnya erotis, vulgar dan atau porno juga tak boleh diajukan sertifikasi halal.*
Sumber: Halalmui.org