Penanggalan Puasa Arafah & Lebaran

Penanggalan Puasa Arafah & Lebaran

Kita tentu tak dapat menghindari adanya sikap sebagian kaum muslimin yang ingin berpuasa Arafah besok (Jum'at) dan berlebaran di hari sabtu (9/7/22) karena mengikuti penanggalan Dzulhijjah di Arab Saudi.

Dr. Samsul Basri, S.Si, M.E.I

Tapi kita tentu bisa menghindari perdebatan panjang yang menggiring pada perpecahan, saling menyalahkan dan bahkan saling merendahkan diantara kita. Padahal Allah telah mengingatkan:

وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَا تَنَٰزَعُواْ فَتَفۡشَلُواْ وَتَذۡهَبَ رِيحُكُمۡۖ وَٱصۡبِرُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ


Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang. Dan bersabarlah, sungguh, Allah beserta orang-orang sabar. [Surat Al-Anfal: 46]

Tulisan ini mengajak kaum muslimin, khususnya para pembaca untuk berpuasa Arafah dan berlebaran sesuai dengan penanggalan Dzulhijjah di negeri kita sendiri yang telah diputuskan oleh pemerintah yaitu di tgl 9 dan 10 Juli.

Akan tetapi kita harus bahkan wajib menghormati dan menghargai sebagian kaum muslimin yang tetap akan berpuasa Arafah besok dan berlebaran di hari sabtunya. Demi tidak terjatuh pada sikap merendahkan kaum muslimin.

Berikut ini diantara alasan penulis mengajak berpuasa dan berlebaran berdasarkan penanggalan yang ditetapkan oleh pemerintah,

Pertama, Kaidah penting para ulama dalam menyikapi perbedaan di tengah-tengah kaum muslimin adalah, Amrul khalifah yarfa'ul ikhtilaaf (Keputusan pemerintah menghilangkan perbedaan). Mengikuti keputusan pemerintah yang didalamnya menyebabkan persatuan kaum muslimin wajib hukumnya. Allah berfirman,

وَٱعۡتَصِمُوا۟ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِیعࣰا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ۚ
Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai,
[Surat Ali 'Imran: 103]

Kedua, Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah ketika ditanya dengan pertanyaan ini:
“Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arafah disebabkan perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan negeri. Apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah mengikuti ru’yah Haromain (dua tanah suci)?”

Syaikh rah.a menjawab, “Permasalahan ini adalah turunan dari perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu, ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan hilal setiap negara. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan hilal setiap negara." (Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20: 47-48).

Beliau menambahkan bahwa Pendapat yang lebih kuat adalah kembali pada ru’yah hilal di negeri masing-masing. Perbedaan matholi’ hilal, menjadikan setiap negeri memiliki hukum masing-masing. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Pendapat inilah yang lebih bersesuaian dengan Al Qur’an, As Sunnah dan qiyas.

Ketiga, Sebagai warga Indonesia yang tinggal di perantauan tentu menyaksikan dan mengalami sendiri bagaimana perbedaan waktu terjadi antara Provinsi dengan provinsi yang terkadang selisihnya bisa 1 sd 2 jam. Sehingga waktu mulai berpuasanya dan waktu berbukanya berbeda-beda.

Penduduk Muslim di Jawa tidak boleh shalat maghrib atau berbuka puasa jam 5 sore dengan alasan penduduk muslim di Sulawesi sudah shalat maghrib dan berbuka puasa. Perbedaan waktu terjadi karena perbedaan terbit dan tenggelamnya matahari dan bulan.

Jika bisa terjadi perbedaan sehari-hari dalam hal waktu shalat, mulai puasa dan berbuka puasa antara Provinsi dengan provinsi di negeri kita sendiri. Maka begitu pula dalam penanggalan 1 Ramadhan, 1 Syawwal dan 1 Dzulhijjah antara satu negara dengan negara yang lain sangat memungkinkan terjadi perbedaan dikarenakan perbedaan matholi' (tempat terbitnya bulan).

Atas dasar inilah, penulis mengajak kaum muslimin untuk berpuasa dan berhari raya sebagaimana puasa dan hari raya yang ditetapkan waktunya di negeri kita. (yaitu puasa Arafah pada hari Sabtu, dan iedul adha pada hari ahad ini.). Meskipun akan kita saksikan perbedaan dengan negeri lainnya terutama di Saudi Arabia.

Kesimpulan : Puasa Arafah mengikuti penanggalan atau penglihatan di negeri masing-masing dan tidak mesti mengikuti wukuf di Arafah. Kita harus berlapang dada karena para ulama berselisih pula dalam memberikan jawaban untuk masalah ini. Legowo itu lebih baik.


Artikel ini didukung oleh :




Sebelumnya :
Selanjutnya :