Prof Euis : Ayah Ada, Tapi Tak Hadir: Potret Fatherless di Keluarga Modern

Prof Euis : Ayah Ada, Tapi Tak Hadir: Potret Fatherless di Keluarga Modern

Di era digital, peran ayah semakin meluas sebagai teladan dalam penggunaan teknologi.

Oleh: Prof. Euis Sunarti

Guru Besar Bidang Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga Departemen IKK FEMA IPBKetua Penggiat Keluarga Indonesia (Giga Indonesia)



Hampir satu dekade yang lalu, istilah fatherless digunakan untuk menggambarkan ketiadaan peran ayah dalam mengasuh anak. Pada masa itu, perhatian publik lebih banyak mengingatkan pada ayah yang tidak hadir secara fisik akibat perceraian, perpisahan, atau kematian.

Namun, memasuki tahun 2025, problematika yatim di Indonesia menampilkan wajah yang lebih kompleks dan halus. Ketidakhadiran ayah tidak selalu ditandai dengan kosongnya posisi ayah dalam struktur keluarga.

Hari ini, banyak ayah hadir secara administratif dan biologis, tetapi tidak terlibat secara emosional dan psikologis dalam kehidupan anak. Ayah berada di rumah, namun tidak menjadi bagian dari keseharian anak. Interaksi terbatas, dialog minim, dan hubungan ayah–anak berlangsung secara fungsional, bukan relasional.

Perubahan ini tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial dan ekonomi keluarga modern. Tuntutan kerja yang semakin tidak berbatas waktu, tekanan ekonomi, serta penetrasi teknologi digital ke ruang domestik telah menggeser pola interaksi keluarga. Rumah tidak lagi sepenuhnya menjadi ruang pengasuhan, melainkan ruang transit antara satu kesibukan ke kesibukan lainnya. Inilah salah satu awal dan ciri fenomena yang disebut keluarga jenuh atau keluarga jenuh.

Kini, intensitas pengasuhan anak semakin menurun di banyak keluarga. Pendidikan dan pengasuhan anak cenderung diserahkan kepada sekolah, atau bahkan kepada perangkat digital. Padahal, tantangan tumbuh kembang anak di era kini jauh lebih berat dibandingkan satu dekade lalu.

Anak-anak hidup dalam lingkungan yang penuh dengan stimulasi, kompetisi, dan ekspektasi. Paparan gawai sejak usia dini, arus informasi tanpa filter, serta tekanan sosial di dunia maya menghadirkan risiko baru bagi perkembangan psikososial anak. Dalam kondisi ini, kehadiran ayah sebagai sosok yang memberikan arah, batasan, dan rasa aman justru menjadi semakin penting.

Pengasuhan anak membutuhkan keseimbangan peran ayah dan ibu. Ayah memiliki kontribusi khas dalam membangun struktur disiplin, keberanian menghadapi tantangan, serta pembentukan kendali diri anak. Ketegasan ayah yang disertai kelekatan emosional membantu anak memahami batas, tanggung jawab, dan konsekuensi.

Tanpa peran ayah yang mampu, anak rentan tumbuh tanpa struktur yang jelas, atau mencari figur otoritas di luar keluarga yang belum tentu konstruktif.

Berbagai kajian menunjukkan bahwa anak yang tumbuh dengan keterlibatan ayah yang rendah lebih berisiko mengalami masalah perilaku, kesulitan regulasi emosi, dan hambatan dalam hubungan sosial. Pada saat yang sama, ibu yang memikul beban pengasuhan secara dominan menghadapi risiko kelelahan emosional yang tinggi.

Kemunculan peran ini tidak hanya meningkatkan kualitas pengasuhan, tetapi juga menggerus ketahanan keluarga secara keseluruhan.

Sayangnya, peran utama ayah sebagai pencari nafkah menuntut alokasi sumber daya waktu dan perhatian yang sangat besar. Akibatnya, kesempatan ayah untuk terlibat dalam pengasuhan semakin menurun dan cenderung diserahkan sepenuhnya kepada ibu. Kondisi ini berkelindan dengan kompleksitas tantangan mengasuh anak masa kini.

Kehadiran ayah tidak dapat disediakan oleh materi semata. Anak membutuhkan ayah yang terlibat, mendengar, dan hadir secara utuh dalam proses tumbuh kembangnya.

Di era digital, peran ayah semakin meluas sebagai teladan dalam penggunaan teknologi. Anak belajar mengelola waktu layar, emosi, dan hubungan sosial dari apa yang mereka saksikan setiap hari di rumah. Ayah yang larut dalam gawai, tetapi menuntut anak untuk disiplin, justru menyampaikan pesan yang kontradiktif.

Sebaliknya, ayah yang mampu menunjukkan keseimbangan antara pekerjaan, keluarga, dan kehidupan digital memberikan pembelajaran yang jauh lebih bermakna daripada sekadar nasihat verbal.

Menghadapi situasi ini, upaya memperkuat peran ayah tidak dapat dibebankan hanya kepada individu. Dibutuhkan pendekatan sistemik. Pendidikan Kesiapan Berkeluarga (SIAP-GA) perlu menempatkan kesiapan laki-laki menjadi ayah sebagai isu utama, bukan sekadar pelengkap.

Dunia kerja juga perlu menciptakan iklim yang memungkinkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan tanpa stigma. Di sisi lain, layanan konseling keluarga dan pendidikan pengasuhan berbasis ayah perlu mencakup dan diakses secara inklusif.

Keluarga besar dan komunitas dapat berperan sebagai jejaring pendukung ketika ayah menghadapi keterbatasan peran akibat pekerjaan atau kondisi tertentu. Ketahanan keluarga adalah hasil kerja kolektif, bukan semata-mata tanggung jawab individu. Kerangka kerja dan mekanisme tersebut dapat berada dalam payung Kampung Ramah Keluarga .

Indonesia tidak kekurangan ayah secara jumlah. Tantangan kita adalah menghadirkan ayah yang benar-benar hadir secara emosional, terlibat dalam pengasuhan, dan bertanggung jawab terhadap masa depan anak.

Karena kualitas generasi mendatang sangat ditentukan oleh kualitas hubungan dalam keluarga hari ini. Negeri yang kokoh bertumpu pada keluarga yang utuh, dan keluarga yang utuh memerlukan ayah yang hadir.



(Tulisan ini pernah dimuat dalam versi cetak Harian Republika, Kamis, 3 Agustus 2017. Diangkat kembali dengan modifikasi sesuai perkembangan dan kondisi terkini di era digital akhir tahun 2025)

Sebelumnya :