UMMATTV JAKARTA--Gagal lagi gagal lagi. Sejak dunia dilanda pandemi Covid-19, dua kali berturut-turut Indonesia tak kunjung memberangkatkan jemaah haji ke tanah suci. Adalah tahun 2020 jemaah haji gagal diberangkatkan karena penyelenggaraan ibadah haji saat itu ditunda hingga batas waktu yang akan diumumkan.
Setahun berikutnya Kementerian Agama juga mengumumkan hal yang sama bahwa keberangkatan haji tahun 2021 dibatalkan. Seiring dengan batalnya pemberangkatan haji 2021, gosip miring tentang pengelolaan dana haji kembali mencuat di tengah publik. Bahwa dugaan "dana haji sudah tidak ada, habis digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur" menjadi salah satu isu yang cukup ramai belakangan ini.
Peneliti Senior Center of Theorizing on Islamic Economic and Finance (CTIEF), Arief Mufraini menilai carut marut opini publik yang berkaitan dengan dana haji terjadi karena adanya asymmetrical points of importence antara politisi (anggota dewan legislatif misalnya), eksekutor atau pemerintah (Kementerian Agama dan BPKH) dan calon jemaah haji atau masyarakat Muslim secara umum.
Menurutnya, walaupun semua telah bekerja keras menyajikan layanan dengan peran dan batasan kepentingannya masing-masing, asymmetrical points of importence antar-stakeholder pada setiap tahun penyelenggaraan merupakan sebuah keniscayaan. "Di sini akan banyak sekali opini yang perspektifnya berbeda beda. Hal ini juga yang mungkin membuat carut marut opini tentang pembatalan keberangkatan haji CTIEF Arief Mufraini dalam siaran pers, baru-baru ini.
Dalam kepentingan calon jemaah, dana ini adalah bagian dari usaha mereka untuk ibadah. Maka kepentingannya adalah bagaimana mereka dapat menunaikan ibadah haji dengan aman, nyaman dan murah. Bagi penyelenggara negara, dana haji dipandang sebagai barang publik, karena itu membutuhkan aturan yang dapat menempatkannya dengan pas di tataran penyelenggaraan negara.
Sementara bagi para politisi dana haji ini memiliki tempat yang amat penting karena berkaitan dengan reputasi dan citra mereka serta partai pendukungnya di mata umat Islam yang merupakan mayoritas masyarakat Indonesia. Kepentingan ini yang kemudian menjadi dasar berbagai sikap dan kebijakan yang dikeluarkan regulator.
Dikatakan Arief, asymmetrical points of importence tersebut terjadi, pertama, karena adanya animo masyarakat yang ingin berhaji jauh lebih banyak dari porsi yang bisa berangkat setiap tahunnya. Dari sini ada asymmetrical points of importence yang terkait persoalan akad, berapa setoran yang harus dibayarkan, apakah half cost atau full cost dan sebagainya.
Kedua, ketika masa tunggu memanjang dan orang yang mendaftar haji semakin banyak, maka dana haji tentu akan semakin membesar. Ketika dana membesar, apa yang harus dilakukan dengan dana tersebut memunculkan asymmetrical points of importence. Di satu pihak, eksekutor berfikir mencari instrumen yang aman dan instrumen yang aman itu adalah instrumen pemerintah.
Namun sebaliknya masyarakat umum menganggapnya tidak menarik. Karena mungkin diasumsikan sebagai abuse of power. Sedangkan pengelola dana haji berpikirnya, bagaimana caranya mendapatkan imbal hasil yang baik dalam rangka memberikan layanan yang baik kepada jemaah. Karena setoran awal Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BIPIH) yang ditetapkan undang- undang nyatanya hanya Rp 25.000.000.
Ketiga, undang-undang yang sudah ditetapkan dan kebiasaan lama yang menjadi bagian dari kebiasaan yang dilakukan untuk dana haji. Dari sini perspektif yang berkaitan dengan asymmetrical points of importence muncul terutama aspek keamaan, perbaikan layanan haji yang membutuhkan biaya besar meskipun ongkos haji tidak berubah.
Dalam hal ini penyelenggara negara berkepentingan menjaga dana itu tetap aman, sehingga secara tidak langsung dapat berfungsi sebagai penyangga ekonomi negara. Walaupun pada saat yang sama, dana tersebut memiliki potensi untuk memberikan dampak sistemik bagi keuangan negara bahkan stabilitas politik dan negara, jika tidak dikelola dengan profesional dan benar
Sementara bagi para politisi dana haji ini dianggap amat penting karena berkaitan dengan reputasi dan citra mereka serta partai pendukungnya di mata umat Islam yang merupakan mayoritas masyarakat Indonesia. "Kepentingan ini yang kemudian menjadi dasar sikap dan kebijakan yang dikeluarkan termasuk dalam hal penetapan setoran biaya haji pertahun dan tuntutan kepada penyelenggara haji untuk terus meningkatkan pelayanan,"pungkasnya.*