Inspirasi Imam Masjid Al Ikhwan Balikpapan Baru: Siradjuddin, Sang Penebar Kebaikan*

Inspirasi Imam Masjid Al Ikhwan Balikpapan Baru: Siradjuddin, Sang Penebar Kebaikan*

Bagi Siradjuddin, menjadi imam tidak hanya berhenti di ucapan takbir dan salam. Ia adalah guru bagi anak-anak yang belajar di Pondok Al Ikhwan.

Di antara deru kendaraan dan hiruk pikuk kota Balikpapan, tersembunyi sebuah ketenangan di Masjid Al Ikhwan. Di sana, sejak tahun 1998, seorang imam dengan suara merdu dan hati penuh keikhlasan berdiri kokoh memimpin shalat, membimbing bacaan Qur’an, dan menanamkan nilai-nilai akhlak mulia. Dialah Siradjuddin,  seorang imam yang mungkin tak pernah bercita-cita menjadi imam, tetapi takdir telah menempatkannya sebagai sosok panutan yang dirindukan jamaahnya.

Mengajarkan Bacaan Qur’an, Membangun Generasi

Bagi Siradjuddin, menjadi imam tidak hanya berhenti di ucapan takbir dan salam. Ia adalah guru bagi anak-anak yang belajar di Pondok Al Ikhwan. Dengan sabar, ia mengajarkan teori dan praktik tajwid agar generasi muda fasih membaca Al-Qur’an. Di tangannya, puluhan bibir kecil dilatih untuk merangkai huruf hijaiyah dengan tartil, menanamkan kecintaan pada kalam Ilahi sedari belia.

Akhlak di Atas Segalanya

Baginya, imam bukan sekadar pemimpin shalat. Lebih dari itu, imam adalah teladan. Siradjuddin meyakini, bacaan Qur’an yang indah harus diiringi dengan akhlak yang lembut. Dalam tutur katanya, dalam senyum sapanya, masyarakat menemukan ketenangan dan teladan. Karena itulah, ia dihormati bukan hanya karena jabatannya, tetapi karena budi pekertinya.

Dua Dekade Lebih, Tak Pernah Lelah Memimpin Shalat Berjamaah

Melewati lebih dari dua dekade, Siradjuddin sudah melihat berbagai perubahan di lingkungan masjidnya. Generasi silih berganti, tantangan datang silih berganti pula. Namun di setiap waktu shalat, suaranya tetap lantang menggaungkan ayat suci, sabarnya tetap lapang membimbing jamaah, dan hatinya tetap tulus melayani.

Ia pun tak hanya berhenti pada dirinya. Beliau mendidik banyak anak muda agar kelak siap menggantikan peran imam, dengan bekal ilmu dan akhlak yang sama. Ia sadar, tugas seorang imam bukan hanya sekarang, tetapi juga menyiapkan generasi pelanjut.

Pelajaran yang Bisa di Petik 

Di balik sosok imam yang khusyuk di atas mimbar, Siradjuddin hanyalah seorang ayah dan kakek yang penuh cinta. Lahir di Banjar, Kalimantan Selatan, 55 tahun silam, ia membangun rumah tangga bersama istrinya, wanita kelahiran Penajam berdarah Madiun, Jawa Timur. Dari pernikahan itu, ia dikaruniai dua putri yang kini sudah berkeluarga dan memberinya tiga cucu, pelipur penat di sela tugasnya.

Teladan Kesabaran dan Keikhlasan

Kisah Siradjuddin adalah cermin bagi siapa pun yang ingin menanam kebaikan di bumi. Bahwa tanggung jawab tak harus selalu berawal dari cita-cita, tetapi bisa tumbuh dari panggilan hati. Dengan sabar, tulus, dan teguh, Siradjuddin mengajarkan kita bahwa peran sekecil apa pun, bila dijalankan dengan niat baik, akan memberi jejak kebaikan yang panjang.

Semoga kisah Siradjuddin mengetuk hati kita untuk terus berbuat baik, mengabdi dengan ikhlas, dan menjaga akhlak di manapun kita berada. Sebab, menjadi manusia bermanfaat tak harus menunggu kesempatan besar — cukup mulai dari lingkungan terdekat, dengan hati yang tulus dan tangan yang ringan membantu.


Artikel diatas merupakan perjalanan Ummat TV, menemui para tokoh inspiratif sekaligus keikhlasannya menjadi penerang ditengah tengah ummat setiap kota .

Sebelumnya :