Makin Langka, Ini Profil Guru Ideal Menurut Ibnul Qayyim

Makin Langka, Ini Profil Guru Ideal Menurut Ibnul Qayyim

Apa kurikulum yang tepat buat pendidikan generasi kita?

Ini pertanyaan yang mengemuka di tengah tsunami informasi yang berkejaran dengan transformasi digital seluruh aspek kehidupan. Buku 21 Lessons for the 21st Century menolak mengajarkan kurikulum informasi. In such a world, the last thing a teacher needs to give her pupils is more information. They already have far too much of it. Instead, people need the ability to make sense of information, to tell the difference between what is important and what is unimportant, and above all to combine many bits of information into a broad picture of the world.

Untuk pendidikan generasi, bukan informasi yang penting. Penulis kira, bukan juga sejumlah skill yang buku itu rekomendasikan. Ada komponen lain yang tidak disebutkan di sana dan juga bukan sesuatu yang baru: guru. Sebab subjek yang diharapkan mampu sehingga juga diharapkan membantu murid memahami, menyeleksi, serta meletakkan samudera informasi dalam konteks kehidupan yang tepat adalah guru.

Untuk menunjukkan posisi krusial guru dalam peradaban, KH. Muhammad Zaitun Rasmin, dalam salah satu taujihatnya, mengambil contoh diutusnya para Nabi dan Rasul ‘alaihimus salaamAllah Ta’ala mengutus para Nabi dan Rasul selain menurunkan Kitab-kitab dalam rangka menyampaikan petunjuk hidayah bagi ummat manusia. Merekalah guru-guru agung bagi kemanusiaan, katanya.

Lantas, apa profil guru yang ideal itu? Mari kita pinjam konsep yang ditawarkan Ibnul Qayyim (w. 751 H) Rahimahullah. Konsep ini diangkat dari firman Allah Ta’ala di Surah al-Kahfi.

“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap ridha-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28)

Tafsir Ringkas Kemenag online menjelaskan, “Dan bersabarlah engkau wahai Nabi Muhammad bersama orang-orang yang beriman yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan berzikir dan berdoa dengan mengharap keridaan-Nya, bukan karena mengharap kesenangan duniawi; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka walaupun mereka miskin, lalu mengarah perhatianmu kepada orang-orang kafir karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, sebab keengganannya mengikuti tuntunan yang Kami wahyukan serta menuruti keinginannya yang teperdaya oleh kesenangan duniawi dan keadaannya yang demikian itu sudah melewati batas.”

Selanjutnya, Ibnul Qayyim menyimpulkan profil guru ideal dari bagian akhir ayat tersebut. Dia menulis, “Hamba yang ingin mencari panutan hendaknya memeriksa, apakah orang itu termasuk ahli zikir atau malah golongan yang banyak lalai? Apakah rujukan orang itu hawa nafsu atau wahyu? Kalau rujukannya adalah hawa nafsu dan orangnya kategori lalai, pasti urusannya telah melampaui batas ….”

Intinya, Allah Ta’ala melarang taat kepada golongan ini. Setiap pribadi hendaknya melihat, bila gurunya atau panutannya atau ikutannya masuk golongan ini maka hendaknya dia mengambil jarak. Sebaliknya, bila tokoh tersebut ahli zikir kepada Allah Ta’ala, ittiba’ kepada Sunnah Nabi, serta urusannya tepat dan tidak melampaui batas, maka hendaknya dia berpegang teguh padanya.”  

Ada tiga kriteria guru ideal dalam kesimpulan Ibnul Qayyim di atas.

Pertama, Ahli Zikir

Guru yang ideal bukan manusia yang kehidupannya lalai dari agama dan orientasi Akhirat. Sebaliknya, dia memiliki amal zikir yang dahsyat. Dan jangan salah, zikir di sini bermakna luas sehingga tidak terbatas pada takbir, tasbih, tahmid, dan sejenisnya saja.

Masih menurut Ibnul Qayyim, zikir itu ada beberapa macam. Pada kitab Jila’ul Afham, dia memberikan perincian macam-macam zikir, yaitu:

(1) menyebut dan memuji Allah Ta’ala sesuai dengan Asma’ dan Shifat-Nya, (2) tasbih, takbir, tahmid, dsj, (3) mengingat Allah Ta’ala dengan segala perintah dan larangan-Nya, (4) membaca Al-Qur’an, dan terakhir (5) doa, istigfar, munajat, dan sejenisnya.

Dari penjelasan ini, tampak bentuk zikir yang beragam yang bila dipraktekkan penuh akan mewarnai keseharian seseorang sejak dari bangun tidurnya hingga ke istirahat tidurnya kembali. Aktivitas zikir lewat lisan dan hati ini berkesinambungan. Jelas, hati dan lisan pelakunya senantiasa hidup dan tidak lalai. Pendidikan sekuler yang membatasi makna ibadah pada ritual di dalam masjid saja pasti resisten terhadap konsep guru ideal yang ahli zikir ini. Betapa tidak, karena pendidikan sekuler sejak awal membonsai kepentingan dunia lepas dari pedoman ilahiyah.

Kedua, Komitmen kepada Sunnah Nabi

Karakter guru ideal selanjutnya adalah komitmen yang tinggi terhadap Sunnah atau ajaran Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Karena ajaran Nabi mencakup aqidah, ibadah, muamalah, dan akhlak, maka komitmen tersebut tercermin indah dan harmonis pada seluruh aspek tersebut. Guru ideal memiliki kesalehan yang standar, baik itu pada level individual, sosial, maupun intelektual.

Seorang guru, sadar atau tidak, menjadi role model bagi muridnya dalam sikap dan perbuatan. Kalau gurunya komitmen pada referensi wahyu, besar kemungkinan murid akan meneladani komitmen itu. Sebaliknya, kalau gurunya lebih banyak merujuk pada syubhat dan syahawat, maka murid sangat beresiko terjerumus pada perilaku yang sama.

Karena krusialnya posisi guru ini terhadap pribadi murid, seorang tabi’in mewanti-wanti untuk selektif dalam memilih guru. Guru tempat seorang belajar tidak boleh ditunjuk secara serampangan. Sebab, pengaruh guru berdampak hingga terhadap kualitas agama seseorang. Kata Muhammad bin Sirin (w. 729 M) rahimahullah“Inna hadzal ‘ilma diinun. Fanzhuruu ‘an man ta’khudzuna diinakum.” Sesungguhnya ilmu ini adalah bagian dari agama. Maka telitilah, kepada siapa kalian berguru.

Selain guru tempat belajar secara langsung, tentu ada pula “guru-guru” yang menjadi referensi ilmu dan amal. Pada situs al-Islam Su’al wa Jawab (islamqa.info) yang diasuh oleh Syekh Muhammad al-Munajjid, terkait topik rujukan ilmu, ditulis sebagaimana berikut.

“Sikap anda tepat karena bertanya tentang guru-guru yang layak diambil ilmunya. Sebab, tidak semua orang yang pandai retorika dan hapal perkara-perkara ilmu lengkap dengan dalilnya merupakan ulama yang layak ditempati belajar … Ilmu diambil hanya dari guru-guru yang dikenal istiqamah dan memiliki takwa, berakidah lurus, dan punya manhaj yang otentik. Maka, ilmu itu tidak diambil dari individu yang ahli maksiat, ahli bidah, serta mempromosikan ajaran yang berseberangan dengan Sunnah. Sikap ini sebagai bentuk perlawanan dan isolasi. Sebab oknum-oknum itu bisa saja mencampur racun dalam madu dengan mengajarkan bidah kepada murid-murid yang tidak sadar.

“Para imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menjadi referensi ilmu sangat banyak. Tidak mungkin membatasi jumlah mereka, tapi berikut ini di antaranya. Yang utama adalah para Sahabat Nabi, khususnya Khulafaur Rasyidin Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Menyusul ulama senior kalangan Sahabat, seperti Ibnu Mas’ud, Muadz bin Jabal, Ibnu Abbas, Abu Musa al-Asy’ari, Ubadah bin Shamit, Abu Darda, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Amr, Ibnu Zubair, Abu Said, Anas bin Malik Radhiyallahu anhum. Setelah mereka ialah tabi’in yang utama seperti Abu Aliyah, Said bin Musayyab, Alqamah, al-Aswad, Ikrimah, Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, Ibnu Sirin, Nafi’ mawla Ibnu Umar, Hasan Basri. Termasuk murid-murid mereka, semacam Ibrahim Nakha’i, Zuhri, Sya’bi, A’masy, Abu Zinad, Makhul, Auza’i, Ibnu Mubarak, Tsauri, dan Ibnu Uyainah.

“Kemudian empat ahli fiqh yang utama yang menjadi imam mazhab: Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad; dan yang selevel dan seangkatan dengan mereka seperti Abu Tsaur, Laits bin Saad, Ibnu Wahb, dan Ishak bin Ibrahim. Tidak terkecuali imam ahli Hadits, seperti Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah; juga penulis kitab hadits penting semacam Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Daruqutni, Thahawi, serta Baihaqi. Menyusul mereka adalah sarjana mazhab dari ulama fiqh di periode akhir, seperti Ibnu Mundzir, an-Nawawi, al-Iraqi, Ibnu Shalah, al-Qurthubi, Ibnul Arabi, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, az-Dzahabi, Ibnu Katsir, al-‘Izz bin Abdis Salam, Ibnu Jama’ah, Ibnul Mulaqqin, Ibnu Hajar, hingga Ibnu Rajab. Menyusul ulama yang belajar atau mengikuti metode ulama-ulama itu, seperti Ibnu Abil ‘Izz, as-Suyuthi, as-Syaukani, dan as-Shan’ani.

Kemudian para syaikh Ahlus Sunnah dari periode paling akhir seperti Muhammad bin Abdul Wahhab, Ahmad Syakir, Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, Abdurrahman as-Sa’di, Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, al-Albani, Muhammad Amin Syinqiti, Atiyyah Salim, Abdul Razzaq Afifi, Abu Bakar al-Jaza’iri, Abdullah bin Humaid, Shalih Luhaidan, Shalih al-Fauzan, Abdullah bin Jibrin, Abdurrahman al-Barrak, dan banyak lagi ulama Ahlus Sunnah yang lain.

Di tempat yang berbeda, Dr. Muhammad Yusri Ibrahim, anggota Majelis Tinggi Rabithah Ulama al-Muslimin, menulis, Abad ke-14 melahirkan banyak ulama rabbani dan mujahid, Abdurrahman as-Sa’di dari Jazirah Arab, Muhammad Rasyid Ridha dan Ahmad Syakir dari Mesir, Jamaluddin al-Qasimi dan Izuddin al-Qassam dari Syam, Basyir Ibrahimi, Allal al-Fasi dan Umar Mukhtar dari Maghrib, al-Alusi dari Irak, dan al-Mu’allimi dari Yaman -rahimahumullah-.

Akhirnya Ketiga, Beramal dengan Hikmah

Guru yang ideal tidak hanya berbekal ilmu secara kognitif, tapi juga kematangan pribadi. Kematangan pribadi tersebut biasanya merupakan tempaan dari pergaulan dan wawasan yang luas sekaligus jam terbang yang tinggi di medan dakwah. Kematangan pribadi itulah yang melahirkan sikap dan perbuatan yang proporsional, tepat pada segala situasi dan kondisi. Itulah hikmah dalam beramal.

Lawan dari sikap dan perbuatan yang proporsional dan tepat adalah sikap berlebihan atau melampaui batas. Hal ini umumnya lahir dari pribadi yang belum matang, karena masih di tahap awal belajar dengan pengalaman yang masih terbatas. Mengutip Dr. Bakr bin Abdullah Abu Zaid, dikatakan bahwa belajar ilmu itu terdiri atas tiga tingkatan. Apabila seseorang mempelajari tingkatan ilmu yang pertama, maka ia menjadi sombong, karena ujub pada diri sendiri. Bila dia lanjut dan mempelajari tingkatan yang kedua, maka ia menjadi tawadhu’. Selanjutnya, jika dia sampai mempelajari tingkatan ketiga, barulah dia akan sadar bahwa dia harus terus belajar karena belum tahu apa-apa.

Belajar kepada guru yang beramal dengan hikmah ini penting, sehingga merupakan tradisi kaum Muslim dahulu. Az-Zhahabi dalam Siyar A’lamin Nubala’ mengutip sebuah laporan menarik. Laporan itu menyebutkan bahwa manusia yang hadir di kuliah Imam Ahmad mencapai 5000-an orang atau lebih. Menariknya, dari jumlah murid tersebut, kurang dari 500 orang yang aktif mencatat pelajaran.

Jadi, apa yang dilakukan oleh bagian terbesar peserta yang hadir tapi tidak mencatat pelajaran?

Ternyata, mereka sengaja datang hanya untuk belajar secara langsung adab dan budi pekerti Imam Ahmad. Patut ditambahkan bahwa majelis-majelis ilmu di masa itu umumnya dihadiri oleh ratusan ulama yang telah memiliki kualifikasi berfatwa.

Masya Allah…!

Oleh: Ust. Ilham Jaya R

(Kandidat Doktor Almadinah International University Malaysia, Ketua DPW WI DKI Jakarta & Depok, dan Direktur Basaer Asia Publishing)

Sumber dari: https://wahdah.or.id/makin-langka-ini-profil-guru-ideal-menurut-ibnul-qayyim/

Sebelumnya :
Selanjutnya :