Matamu Harimaumu

Matamu Harimaumu


Oleh: Ust. Ilham Jaya R

(Kandidat Doktor Almadinah International University Malaysia, Ketua DPW WI DKI Jakarta & Depok, dan Direktur Basaer Asia Publishing)


Ini Masjid Nabawi di Madinah Munawwarah, kota suci kedua dunia di Jazirah Arab tahun 593 H. Tampak seorang laki-laki tua berpakaian sederhana sedang bekerja membersihkan masjid. Tanpa pembantu, tidak pakai tongkat, dan waktu itu kaca mata belum dikenal. Dia juga merapikan karpet dan menyalakan lampu lentera. Padahal, Masjid Nabawi tidak pernah sepi dari jamaah, para penuntut ilmu dan orang-orang yang sengaja datang mengunjungi masjid plus ziarah ke Kubur Nabi.

Menurut informasi, usia orang tua tadi sudah hampir 160 tahun. Subhanallah. Di usia begitu dia masih bisa berkontribusi secara fisik buat Masjid Nabi. Tak heran, banyak yang minta bocoran rahasia di balik usia panjang dengan kesehatan fisik serta stamina berbuat baik itu. “Aku menjaga anggota tubuhku dari perbuatan maksiat di waktu muda, maka Allah menjaganya buatku di waktu tua,” jawabnya mantap.

Ternyata, laki-laki tua itu bukan orang biasa. Dia adalah al-Qadhi Ahmad bin al-Husain bin Ahmad al-Ashfahani atau lebih dikenal dengan Abu Syuja’. Dia penulis kitab matan mukhtasar fiqh Syafi’i yang melegenda: Matan Abi Syuja’. Sudah lebih dari delapan abad hingga hari ini, kitab ini menjadi kurikulum standar bagi pelajar fiqh Syafi’i di berbagai belahan dunia. Dan menarik bahwa dalam uraiannya tentang pedoman dan hukum pernikahan, Abu Syuja’ membuat sub bahasan khusus tentang hukum-hukum memandang kepada lawan jenis. Ini berarti bagaimana menjaga pandangan mata dari perbuatan maksiat karena melihat yang haram.

Terkait menjaga pandangan ini, Al-Qur’an ternyata memberikan pedoman yang detail. Firman Allah Ta’ala, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya) kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya) kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 30-31)

Tentang surah an-Nuur yang memuat petunjuk menjaga pandangan tadi, penting kita kutip di sini kajian Sayyid Quthub. “Topik utama surah ini seluruhnya berkisar pada tema tarbiyah yang pada perangkatnya yang keras sampai pada bentuk hudud/hukuman. Adapun tarbiyah dengan perangkatnya yang lembut menyentuh masuk ke hati nurani dan perasaan, yang bila tersucikan akan tersambung dengan cahaya petunjuk dari Allah Ta’ala. Tarbiyah di sini mengintegrasikan adab pribadi, rumah tangga, keluarga, ummat Muslim, hingga kepemimpinan. Sebab semuanya berangkat dari sumber yang satu, yaitu aqidah kepada Allah Ta’ala.”

Pandangan dari Sayyid Quthub ini mengingatkan kita tentang luasnya dimensi adab dan tarbiyah yang dikandung surah an-Nuur. Pandangan tersebut sekaligus mengajak kita untuk melihat jauh dimensi “menjaga pandangan” serta dampaknya yang melampaui skala individu serta keterkaitannya dengan iman.

Bagaimana cara menjaga pandangan? Praktek dan pesan dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menjadi pedoman praktis bagi kita. Pada hadits yang diceritakan oleh Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhu diceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pernah membonceng Fadhl bin Abbas di atas kendaraannya pada hari (jemaah haji) menyembelih. Fadhl sendiri adalah seorang pria yang tampan. Rasulullah lantas singgah di satu tempat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan jemaah. Maka datanglah menghadap seorang wanita cantik dari suku Khats’am untuk bertanya kepada Rasulullah. Fadhl memandang wanita itu dan kagum dengan kecantikannya. Nabi berbalik dan melihat mata Fadhl yang memandang si wanita. Maka Rasulullah mencolek dagu Fadhl sehingga dia mengalihkan pandangannya. [HR. Bukhari-Muslim].

Dari hadits ini bisa dipahami bahwa pandangan kali pertama yang terjadi secara alami dan spontan bukan persoalan. Tapi melepaskan pandangan berikutnya apalagi bagi yang tidak berkepentingan tidak sejalan dengan adab.

Di satu keterangan, Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengingatkan bahwa mata sendirian bisa jatuh terjerumus kepada zina. Pada hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah bersabda, “‘Allah telah menakdirkan bagi anak cuku Adam sebagian dari zina yang pasti akan terjadi dan tidak terhindar. Zina kedua mata adalah melihat. Zina kedua telinga adalah mendengar. Zina mulut adalah berkata. Zina tangan adalah memegang. Zina kaki adalah melangkah. Zina hati adalah berharap dan berkeinginan. Sedangkan kemaluan itu membuktikannya atau mendustakannya.” [HR. Muslim]

Korelasi antara menjaga pandangan dengan menghindari perbuatan zina selanjutnya bisa kita baca dari keterangan Ibnul Qayyim. Berikut beberapa kutipan dari kitab al-Jawabul Kaafi li man Sa’ala ‘an ad-Dawa’is Syafi atau ad-Daa’ wad Dawa’.

“… Allah Ta’ala menyuruh Nabi-Nya Shallallahu alaihi wasallam agar memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk menjaga pandangan dan kemaluan. Juga untuk mengingatkan bahwa Allah Ta’ala menyaksikan perbuatan mereka ‘Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada.:” (QS. Ghafir: 19)

“Mengingat sumber dari itu semua berawal dari penglihatan, maka menjaga pandangan didahulukan daripada menjaga kemaluan. Makanya, kasus-kasus (perbuatan zina) yang terjadi bermula dari pandangan, sebagaimana kebakaran yang berawal dari percikan api. Urutannya: pandangan, pikiran, tindakan, akhirnya pelanggaran. Lantaran itu, hendaknya setiap hamba menjadi penjaga bagi empat ‘pintu’ tadi untuk diawasi ketat. Dari ‘pintu-pintu’ itulah musuh manusia masuk dan merajalela kemudian menghancurkan apa saja yang dikuasainya.

“… Pandangan itu pengantar syahwat yang merangsang, sehingga menjaga pandangan adalah pokok untuk menjaga kemaluan. Siapa yang membiarkan pandangannya terlepas liar, dia telah menjerumuskan diri pada kebinasaan.

“… Penglihatan adalah sumber utama timbulnya kasus-kasus (perbuatan zina). Diawali dengan nazhrah/penglihatan, kemudian khatrah/lintasan pikiran, diikuti dengan fikrah/angan-angan. Selanjutnya adalah syahwat kemudian iradah/keinginan. Iradah ini menguat menjadi ‘azimah jazimah/keinginan bulat sehingga pasti berujung aksi, selama tidak ada faktor yang mencegah. Oleh karena itu ada ungkapan yang berbunyi, sabar menjaga pandangan lebih mudah daripada sabar terhadap akibat yang timbul setelahnya.”

Sampai di sini, tampak benar bahwa salah satu bobot unggul peradaban Islam yang sangat menonjol adalah penekanannya yang besar terhadap aspek moral. Akhlak menjaga pandangan ini salah satu contohnya. Makanya, bahasan tentang topik ini melimpah dalam khazanah intelektual dan peradaban Islam. Untuk kajian yang khusus, Abdul Hakim Anis mencatat, sejak abad ke-6 Hijriyah setidaknya ada 18 karya ulama dan sarjana yang disusun khusus mendiskusikan hukum serta dimensi menjaga pandangan ini.

Pada tataran praktis, nilai syariat dan hukum ini hidup di tengah-tengah masyarakat Muslim. Berbagai survei di tingkat global menunjukkan secara konsisten bahwa masyarakat di negara-negara mayoritas Muslim menilai zina (premarital and extramarital sex) merupakan problem moral.  Praktek zina di masyarakat Muslim juga jauh lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan masyarakat di luar pengaruh peradaban Islam. Tidak terkecuali gejolak gerakan #MeToo.

Wallahu a’la wa a’lam…

Sebelumnya :
Selanjutnya :