(Nurbowo di Mata Sahabat) MIMPI KITA MENUA BERSAMA _Part 2

(Nurbowo di Mata Sahabat) MIMPI KITA MENUA BERSAMA _Part 2

"Sekali waktu, saya diundang ke rumahnya di Pondok Miri, Rawa Kalong, Gunung Sindur. Mas Nurbowo minta saya mentraining para pengajar al Quran dan TKA tentang cara berkomunikasi yang baik, sesuai kaidah seorang komunikator yang baik".

Bencana, Jurnalistik, dan Dakwah

(Ahmad Husein, Ketua 1, ARM HA-IPB)

Desember 2004. Saya berada di kawasan Lhok Nga, Aceh Besar, seminggu pasca tsunami menghantam daratan Aceh. Selain bertugas sebagai relawan KSBA (Komite Solidaritas Bencana Aceh dan Nias), saya juga punya misi pribadi: mencari keponakan yang hilang saat peristiwa 26 Desember 2004 tersebut.

Telepon masuk. Dari Mas Nurbowo. Ia bergabung dengan tim penyelamat Dompet Dhuafa (DD) dan sedang bertugas di kawasan pantai Ulhee Lheu, satu dari sekian daerah terparah. “Banyak mayat di sini, kita masih bingung mau diapain,” ujarnya dengan suara tercekat. Tak lupa, ia menawarkan bantuan untuk menyebarkan poster Agi, ponakan saya yang hilang itu. Kami saling mendoakan dan menguatkan, lalu balik bekerja. Saya lebih dahulu meninggalkan Banda Aceh setelah lebih dari seminggu berjibaku di sana.

Takdir Allah SWT rupanya menyandingkan saya dengan mas Nurbowo untuk selalu dekat. Dia rupanya paham, saya punya gairah dalam soal peningkatan kapasitas bidang jurnalistik dan komunikasi. Walhasil, entah itu soal promosi produk halal, training jurnalistik, workshop pemasaran sosial, hingga manajemen kebencanaan, ia akan meminta saya mengisi acara buat lembaganya. Dan selalu saya penuhi. 

Sekali waktu, saya diundang ke rumahnya di Pondok Miri, Rawa Kalong, Gunung Sindur. Mas Nurbowo minta saya mentraining para pengajar al Quran dan TKA tentang cara berkomunikasi yang baik, sesuai kaidah seorang komunikator yang baik. Saya pun mengiyakan saja. Dari pagi sampai sore, saya menghabiskan waktu di sana, sembari makan siang bareng yang amat nikmat meski dengan menu sederhana.

Hobinya melanglang buana ke daerah-daerah terpencil menyambangi para da’i yang bertugas di sana, amat membuat kita iri. Suatu ketika, ia telepon saya:

“Punya hape bekas? Sini kasi ke saya.”

“Lho ngapain hape bekas, sini saya beliin yang baru. Ojo ngisin-ngisinin,” balas saya.

“Bukan untuk saya, untuk da’i di Mentawai. Kasian nggak punya hape," katanya.

Ya Allah, dia lebih memikirkan da’i daripada dirinya sendiri. 

Kami pun terus bergiat dan tukar-menukar informasi meski dalam lembaga berbeda di setiap kejadian krisis, entah itu gempa Sumbar, letusan Merapi, gempa Lombok, gempa dan tsunami Palu, dan banyak lagi event lainnya.

Dialah yang amat khawatir saat saya terkena musibah di Lombok. Saat saya bertugas, terjadi rangkaian gempa keempat dan kelima, 19 Agustus 2018. Yang keempat memiliki magnitudo 6,3 terjadi pada pukul 11.10 WIB dengan kedalaman hiposenter 7,9 km. Saya yang tengah di kantor PMI Provinsi NTB, ikut menghambur keluar gedung. Lalu malamnya, gempa dengan magnitudo 7,0 terjadi pada pukul 21.56 WIB dengan kedalaman hiposenter 25 km. 

Saya tengah di dalam kamar penginapan, usai kembali dari kantor. Lampu mati akibat goncangan, lalu kami satu penginapan berlari ke luar dalam kondisi gelap gulita. Mengandalkan isting, saya berlari ke arah depan lalu berbelok ke kanan, bermaksud melintasi café, karena lebih aman. Tak dinyana, tangan kiri saya yang meraba dinding dalam gelap, tersabet sebuah benda tajam. Darah bercucuran deras, dan teman-teman melarikan saya ke RS Darurat Kota Mataram. Ada 6 jahitan yang saya terima untuk luka sobek menganga di kelingking kiri. Esok paginya, saya diperintahkan kembali ke Jakarta, agar dapat melakukan perawatan lebih saksama. Mas Nurbowo saya kabari soal ini. Dialah yang memposting kabar saya di media sosial tak lama kemudian.

Saya sempat membayangkan, bagaimana kami berdua menua bersama, lalu suatu saat di masa tua itu berbincang hangat mengenai semua tugas dan pekerjaan yang sudah kita lakukan. Alangkah menyenangkannya. Apalagi kemudian membuat buku berdua. 

Itu impian yang sempat melintas dalam kepala saya. 

Suatu saat lain, pesan WA masuk. Mas Nurbowo mengajak ketemu. Ada apa, tanya saya?

“Yuk bikin inisiatif bantu keluarga temen-temen yang sudah tiada dan butuh dukungan ekonomi.” 

Saya tak mungkin tak ikut. Semangat berbuat baiknya amat konsisten. Inisiatif itu Alhamdulillah berlanjut hingga kini.


*ARM, Jantung, Pulang

Tahun 2019, kami berdua ditantang untuk mendirikan dan mengembangkan sebuah organisasi berbasis relawan di bawah Himpunan Alumni IPB. Saya dan dia punya prinsip sama, selama ini tak mau cawe-cawe urusan alumni. Kami berdua jauh dari hiruk-pikuk dan dinamika himpunan alumni. Namun, ide organisasi berbasis relawan ini cukup brilian. Setidaknya itu yang saya sampaikan ke Mas Nurbowo. 

Beliau setuju. Lalu meminta saya yang memimpin. Saya tolak. Alasannya, saya masih lekat dikenal sebagai seorang manajer dari organisasi internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, yang amat ketat soal netralitas dan kemandirian. “Nanti akan adasemacam vested interested kalau saya yang mimpin. Nanti jika saya sudah tidak lagi di sana, maka saya akan bisa bantu lebih lapang,” ujar saya. Selain itu, lembaga baru ini butuh role model yang sudah teruji pengalamannya di bidang kebencanaan dan kemanusiaan. Karena pengalaman saya di bidang manajemen organisasi kebencanaan, saya janjikan bahwa semua hal terkait konsep, SOP, kode etik, hingga manajemen sumber daya, bisa dibebankan ke pundak saya. 

Deal. Lembaga tersebut yang kemudian diberi nama Aksi Relawan Mandiri Himpunan Alumni IPB (ARM HA-IPB) terbentuk. Belum lagi resmi didirikan, Mas Nurbowo dan saya harus bertugas pertama kali ke wilayah kebakaran hutan dan asap di Riau. Misi pertama kami sukses. Itu tak lepas dari jaringan kawan-kawan NGO lokal yang beliau kontak untuk membantu ARM. Mas Nurbowo lalu terbang ke Ambon membawa amanah bantuan untuk korban gempa. 

Sakit jantungnya tak melemahkan semangat. Sahabat-sahabatnya rajin mengingatkan bahkan mengirim berbagai obat untuknya. Kepada hampir setiap orang, ia selalu menjawab seolah tak serius. “Kalau udah ajal sih, ya mati…” Namun kepada saya, bila bicara tentang kesehatan, Mas Nurbowo tidak pernah mengucapkan jawaban tersebut. Hanya kata iya, baiklah, dan sejenisnya yang akan jadi responnya ke saya. 

Dan demikianlah. Walaupun dengan situasi pandemi, kami tetap bergiat. Saat ia safari dakwah, dua hari sebelum Allah memanggilnya, ia sempat berkirim WA kepada saya dan Budhe Emy Mupid II soal perlunya bertemu dengan seluruh tim ARM akhir tahun. Saya bilang bahwa ia perlu memberi wejangan untuk langkah kita 2021. 

“Siiaap, cuma kalo Zooming itu, selain gaptek, juga nggak mantep ya?” komentarnya.

Saya timpali, apakah mau off-line? Dia menjawab sejurus kemudian: “Outdoor dan kudu tertib Prokes.”

Hingga tiba-tiba kabar itu datang. Ia berpulang dalam perjalanan menuju Padang, di kawasan Pesisir Selatan, setelah dibawa ke Puskesmas Inderapura, Kecamatan Pancung Soal, hari Rabu 2 Desember 2020 dinihari, pukul 01.10 WIB. 

Saya membaca pesan kepergiannya tepat ketika melangkah keluar pagar rumah menuju mesjid untuk solat Subuh. Tangan saya serasa membeku dan reflek beristighfar. Kemudian air mata mengalir tak tertahan. Selebihnya, saya hanya termenung membaca ratusan pesan dan postingan masuk menyatakan bela sungkawa, berikut pengalaman baik mengenai betapa baiknya hidup Mas Nurbowo. Serta berapa banyak orang cemburu ia menemui Rabb-nya dengan cara yang ia pilih sendiri: dalam pekerjaan yang ia cintai. 

Saya diam seharian itu. Tak kuasa menulis. Saya paksakan menyusun dengan susah payah rilis resmi statemen ARM mengenai berpulangnya beliau. Hingga sore hari; saya dan puluhan rekan sudah hadir di kediamannya, menanti ia pulang. 

Dan malam itu, Mas Nurbowo akhirnya pulang. Yang menangis bukan hanya keluarga. Rekan-rekan da’i, kawan-kawan jurnalis, para sahabat di dunia kemanusiaan, semua terisak.

Malam kemarin, saya menyaksikan bukti betapa ada sosok yang sederhana, yang dicintai banyak orang. 

Lalu saya teringat impian saya bersama Mas Nurbowo. Kami ditakdirkan terus bersama selama 31 tahun. Dalam Islam, dalam respon bencana dan kemanusiaan, dalam gairah jurnalistik. 

Namun Allah tak menakdirkan kami menua bersama. 

Mas, kamu menang. Kamu menghadap-Nya lebih dahulu. Sementara jasa dan kebaikanmu menjuntai panjang tak putus-putus mengikuti ruh-mu. Dari alam dunia ini hingga akhirat kelak. 

Betapa kami kehilangan. Sangat. 

Allahummaghfir lahu warhamhu, wa’afihi wa’fu ‘anhu.

(Bogor, 3 Desember 2020)

#MengenangKetumARM

Sebelumnya :
Selanjutnya :