Oleh : Arnoldison Nawar
Kehadiran fisik ayah dalam rumah tangga tidak bisa disandingkan dengan kebutuhan kehadiran fisik seorang ibu, karena faktor kewajiban maka peran publik (diluar rumah) banyak dilakukan oleh seorang ayah dibandingkan dengan peran domestik yang dilakukan seorang ibu
Kewajiban seorang ayah untuk mendapatkan nafkah bagi keluarganya saat ini memang menuntut menghabiskan waktu kehidupan pribadi dari seorang ayah
Berangkat kerja pagi pagi sekali kemudian pulang larut malam adalah pemandangan yang biasa bagi seorang ayah pada saat ini
Apalagi bagi seorang ayah yang dituntut karena sebab sifat pekerjaannya hanya bisa hadir di rumah dalam waktu tertentu , dalam satu minggu sekali, sebulan sekali bahkan ada yang beberapa bulan baru bertemu keluarga dan hanya menetap beberapa hari untuk kemudian kembali lagi diharuskan bekerja
Sebut saja seperti profesi seorang pelaut, supir bus , atau orang yang mendapat penugasan di daerah daerah terpencil, beruntung bahwa dengan media komunikasi saat ini bisa saling berhubungan
Ada pendapat mengatakan efektifitas fungsi kehadiran bukan terletak pada seringnya kehadiran tapi pada kualitas kehadiran
Permasalah permasalahan rumah tangga (keluarga) saat ini banyak ditudingkan pada sosok peran ayah yang sangat kurang sebagai penyebab timbulnya permasalahan
Kasus kasus yang terjadi pada anak saat ini mulai dari yang klasik seperti kenakalan anak remaja, terkena narkoba, penyimpangan seksual menjadi sorotan penyebab dari peran seorang ayah yang lalai dalam melakukan peran domestik
Kehadiran fisik seorang ayah mungkin tidak mutlak seperti kehadiran fisik seorang ibu, katakan saja banyak anak yatim yang ditinggalkan ayahnya , dibesarkan ibunya ternyata hidup dengan sukses
Sebaliknya banyak anak yang ditinggalkan mati ibunya, walaupun masih memiliki ayah , namun kemudian menjadi terlantar, pada banyak kasus peran single parents lebih bisa mampu dilakukan oleh seorang perempuan (ibu) ketimbang seorang laki laki (ayah)
Peran Ayah Di Keluarga Yang Minim
Salah satu pandangan disebutkan tentang sebab anak menjadi LGBT adalah minim peran ayah dalam keluarga, walaupun sebetulnya ketiadaan atau kurangnya peran ayah bukan hanya berdampak pada LGBT saja, tapi juga aspek negatif lain dari sebuah keluarga
Proses pencarian figuritas dari seorang anak terhadap ayah tidaklah serumit (tidak kompleks) seperti kebutuhan pada peran seorang ibu yang memiliki multi fungsi.
Dari dulu kehidupan seorang ayah waktunya memang sedikit berada di rumah, karena harus bekerja , berprofesi petani, buruh, pedagang , dll , dan bagi anak anak figur seorang ayah memang demikian sudah terbiasa, ketika hanya bertemu saat ayah pulang bekerja
Bagi seorang anak perempuan seorang ayah akan menjadi idola ,sosok untuk pasangan hidupnya, begitu pula bagi anak lelaki figur ayah yang bertanggung jawab, dan melindungi keluarga akan menjadi sosok idola bagi dirinya
Ketika terjadi PKDRT dalam rumah tangga fungsi fungsi tersebut mengalami gangguan keseimbangan, saat seorang suami melakukan tindak kekerasan terhadap isterinya, akan berdampak pada anak yang kehilangan/berkurang akan idolanya dan bahkan berbalik menjadi membenci, begitu pula bila perilaku seorang isteri yang merusak fungsi fungsi tersebut maka anak akan berbalik memposisikan memusuhi ibunya, disebutkan salah satu faktor dari proses penyebab seseorang menjadi LGBT, walaupun masih menjadi pertanyaan apakah hal hal tersebut dapat menyebabkan perubahan atau penyimpangan orientasi seksual seseorang
Pentahelik seseorang menjadi LGBT banyak, ibarat gayung bersambut, ketika seorang anak memiliki masalah dalam keluarga, bertemu dengan teman (orang) yang tidak tepat untuk curhat, menempati lingkungan yang bermasalah, adanya fasilitas fasilitas tersedia yang turut menyuburkan.
Padahal lapisan lapisan lapisan ini semestinya memiliki jalan penyaluran , seorang anak yang mengalami problem dalam keluarga bila bertemu teman yang baik mampu meredam emosi, kegundahan, tamam bisa menasehati, ingkungan pergaulan bisa memberikan suasana yang menimbulkan perbaikan, dan ketika peran pemerintah mampu melakukan pencegahan maka hal hal yang tidak diharapkan tersebut tidak akan terjadi
Pemuka agama yang sering mengatakan solusi persoalan persoalan tersebut terletak pada pemahaman agama, hanya saja perlu memahami psikologi anak dalam penyampaian agar menerima ajaran agama
Ketepatan materi agama yang disampaikan , situasi kondisi lingkungan yang dihadapi anak, waktu yang tepat disampaikan, sifat materi persoalan yang kekinian (kontekstual) menjadi faktor penentu anak menerima ajaran agama
Bagi orang dewasa menghadiri ceramah di masjid, ketika berangkat dari rumah telah memiliki kesiapan untuk mendengar dan mentaati apa yang akan disampaikan, tapi tidak demikian dengan kondisi kesiapan seorang anak dalam menerima nasehat agama
Dilain pihak penetrasi budaya melalui media sosial yang tidak bisa dibendung, menembus bilik bilik kamar anak, di tempat dan waktu yang tak terbatas, tak bisa dipungkiri bahwa orang tua tidak bisa memonitor anak 24 jam
Orang tua merasa telah memberikan segalanya untuk kebaikan anaknya, menyekolahkan ditempat yang baik, memasukkan anaknya di sekolah, memberikan les privat guru mengaji, menasehati secara rutin, ternyata mengalami kekecewaan ketika anak menjadi tidak seperti yang diharapkan
Karena ternyata anak tidak hanya menerima sumber informasi sepihak dari orang tua, guru, ustad tapi juga menerima informasi dari berbagai pihak luar melalui media komunikasi yang telah mudah diterima saat ini
Informasi yang liar dan tidak terkendali menjadi sumber tandingan informasi bagi orang tua
Indonesia dikategorikan di posisi sebagai fatherless country
walaupun banyak pihak mempertanyakan bagaimana kriteria daddy issues itu disematkan sehingga masuk dalam kelompok hungry father
Opini yang berasal dari luar tidak harus selalu diikuti, perlu dicermati kesesuaiannya, perbedaan kultur dan budaya, kehidupan beragama, sisi pandang yang berbeda ini bisa menimbulkan persepsi baik dan buruk juga berbeda
Fatherless tidak bisa dihubungkan dengan budaya patriarki di Indonesia, sehingga kewajiban perempuan dirumah tangga mulai dipersoalkan , sharing suami dalam urusan rumah tangga perlu dilibatkan, disebabkan hanya karena keinginan posisi perempuan di ruang publik ingin lebih dikedepankan
Fatherless juga tidak bisa dikaitkan dengan pola asuh anak yang sekarang ini dominan dikerjakan oleh ibu
Salah satu solusi adminstratif dari masalah fatherless diberi keluangan waktu (dibebaskan) dari kewajiban kerja ( cuti kerja ) bagi seorang suami saat kondisi isteri membutuhkan seperti setelah melahirkan, periode menyusui, menyapihnya dalam waktu tertentu