Parenting : Belajar Menata Hati, Membangun Silaturahmi dan Empati

Parenting : Belajar Menata Hati, Membangun Silaturahmi dan Empati

Oleh: : Arief Riyanto, S.Pd.


Ada masa dalam hidup ketika konflik hanyalah sekadar soal mainan rebutan, atau karena tak diberi giliran naik sepeda. 

Anak-anak bisa menangis, berteriak, bahkan saling menjauh untuk sesaat. Tapi anehnya, tak lama kemudian mereka akan tertawa bersama kembali, seolah tak ada yang pernah terjadi. 

Luka di hati mereka tidak mengakar. Mereka memaafkan tanpa syarat. Mereka kembali bermain dengan tulus.

Namun kita, manusia dewasa atau mereka yang merasa sudah cukup dewasa, saat berkonflik tak lagi semudah itu.

Konflik bukan lagi tentang mainan, tapi tentang harga diri, prinsip, ketidaksepahaman, bahkan luka-luka lama yang tak sempat sembuh. 

Kita memupuk rasa kecewa, memelihara rasa curiga, dan kadang membiarkan luka batin tumbuh menjadi jurang dalam hubungan.

Padahal, kita tahu, hidup ini sebentar. Waktu tak pernah menunggu sampai kita siap menyapa duluan. Tak selamanya ada kesempatan kedua untuk menyambung silaturahmi yang putus. 

Seringkali kita menunggu orang lain berubah dulu, meminta maaf dulu, atau mengakui kesalahan dulu, baru kita membuka pintu hati. 

Tapi sampai kapan kita mau menunggu, sementara hubungan terus renggang, hati terus menjauh, dan rasa empati makin menipis?

Mari kita ingat, bahwa setiap manusia menyimpan luka, perjuangan, dan sisi rapuh yang tak selalu tampak di permukaan. 

Dalam setiap kemarahan, mungkin ada rasa lelah yang belum sempat dibagi. Dalam setiap kata yang menyakitkan, mungkin ada luka lama yang belum selesai disembuhkan.

Bukan berarti kita harus menoleransi segala hal. Tapi setidaknya, kita bisa mulai menata hati dengan menakar mana yang bisa dimaafkan, mana yang perlu disampaikan dengan cara baik, dan mana yang harus dilepas agar hati lebih lapang.

Silaturahmi bukan hanya tentang bertemu dan menyapa. Tapi tentang menjaga ruang di hati untuk tetap bisa menerima, mengingat kebaikan, dan tak menutup pintu sepenuhnya.

Empati bukan hanya tentang memahami perasaan orang lain, tapi juga tentang mengakui bahwa kita pun bisa salah dan terluka—dan bahwa kita semua sedang belajar menjadi manusia yang lebih baik.

Kita memang sudah bukan anak kecil lagi. Tapi barangkali, kita bisa belajar dari mereka, belajar tentang ketulusan memaafkan, tentang keikhlasan menjalin kembali yang retak, dan tentang keberanian untuk menyayangi tanpa syarat.

Karena pada akhirnya, bukan siapa yang paling benar yang akan menang. Tapi siapa yang paling tulus menjaga hubungan, yang akan merasakan damai lebih dulu.

Mari menata hati. Mari menjaga silaturahmi. Mari membesarkan empati. Sebab dunia ini sudah cukup keras, jangan biarkan hati kita ikut mengeras.


Sebelumnya :