Parenting ; Ketika Rumah Tak Lagi Bicara tentang Nilai

Parenting ; Ketika Rumah Tak Lagi Bicara tentang Nilai

Kita semua pasti pernah duduk termenung, menatap anak-anak kita yang kini mulai tumbuh dewasa, lalu diam-diam bertanya dalam hati: Apakah aku sudah cukup hadir untuk mereka?

Refleksi untuk Para Orang Tua yang Sedang Berjuang di Tengah Arus Zaman

Oleh: Imam Muchrozi (Suami, Ayah dari 5 anak,  kakek dari 4 cucu)

Ada kegawatan yang sangat ketika roda keluarga meluncur tanpa kendali. Saat salah seorang anggotanya sadar apa yang sedang terjadi, segalanya mungkin telah terlambat. "Keterlambatan" itu dapat mengambil bentuknya pada ABG yang asing dari nilai-nilai ayah ibunya, atau ayah yang lupa basis keluarganya oleh kesibukan kerja diluar, atau ibu yang terpuruk dalam rutinitas yang membunuh kreatifitasnya, atau karir yang menggilas peran dan fitrah keibuannya.

(K.H. Rahmat Abdullah)


Kita semua pasti pernah duduk termenung, menatap anak-anak kita yang kini mulai tumbuh dewasa, lalu diam-diam bertanya dalam hati: Apakah aku sudah cukup hadir untuk mereka? Sudahkah mereka menyerap nilai-nilai yang aku yakini? Atau jangan-jangan mereka sedang tumbuh menjadi pribadi yang jauh dari yang aku harapkan…?

Kutipan dari K.H. Rahmat Abdullah diatas seperti tamparan lembut, tapi membekas dalam. Ia menggambarkan satu kenyataan getir yang banyak kita alami hari ini dimana banyak keluarga yang kehilangan arah. Bukan karena tak cinta dan saling mencintai. Bukan karena tak peduli. Tapi sering kali karena kita terlalu sibuk. Sibuk bekerja, sibuk berlari mengejar target, sibuk memenuhi kebutuhan. Sementara waktu-waktu penting bersama anak-anak, justru lewat begitu saja.

Bayangkan keluarga seperti kendaraan. Kalau tidak ada yang mengendalikan setirnya, ia bisa melaju ke arah yang salah. Atau menabrak sesuatu. Atau bahkan mogok di tengah jalan. Dan kadang, saat kita sadar ada yang salah, kerusakannya sudah cukup dalam.

Kita bisa lihat contohnya dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak remaja yang canggung bicara dengan orang tuanya sendiri. Ayah yang pulang hanya untuk tidur. Ibu yang lelah secara fisik dan emosional, hilang semangat karena rutinitas yang berulang dan membosankan. Dalam kondisi seperti ini, nilai-nilai Islam yang seharusnya menjadi nafas keluarga, perlahan luntur. Tidak menghilang seketika, tapi menipis sedikit demi sediki tanpa kita sadari.

Padahal, dakwah seharusnya dimulai dari rumah. Bahkan Rasulullah ﷺ pun membangun kekuatan Islam dimulai dari keluarga. Anak-anak pertama yang beliau ajak adalah Ali bin Abi Thalib, sepupunya yang tinggal bersama beliau. Istri beliau, Khadijah, adalah orang pertama yang mendukung dakwahnya. Semua dimulai dari lingkaran terkecil.

Namun hari ini kita justru lebih sibuk berdakwah ke luar rumah, ke tempat kerja, ke media sosial, bahkan ke berbagai forum publik sementara rumah kita sendiri senyap dari sentuhan nilai-nilai itu. Kita pandai berceramah di luar, tapi sulit menyentuh hati anak sendiri. Kita tahu banyak dalil, tapi lupa menggunakannya untuk membimbing istri atau suami kita.

Teman-teman, mungkin ini saatnya kita kembali ke titik awal. Duduk bersama pasangan, ngobrol dari hati ke hati. Tanya pada anak kita: “Apa yang bikin kamu semangat hari ini?” atau “Apa yang paling membuatmu sedih minggu ini?” Tak perlu terlalu banyak nasihat. Kadang yang mereka butuhkan hanyalah telinga yang terbuka lebar dan pelukan.

Mari kita mulai lagi dari hal-hal kecil. Shalat berjamaah di rumah meski hanya Subuh di akhir pekan. Membaca satu ayat Al-Qur’an bersama lalu merenungkannya. Menyisipkan pesan-pesan sederhana tentang iman dan akhlak saat mengantar anak kuliah, atau ketika makan malam bersama.

Dakwah dalam keluarga bukan tentang ceramah. Tapi tentang kebersamaan yang hangat, keteladanan yang konsisten, dan doa-doa yang tidak pernah putus. Keluarga yang kuat bukan yang tanpa masalah, tapi yang mau saling merawat dan kembali menyatukan hati meski sering terpecah oleh kesibukan.

Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki arah. Bahkan jika kita merasa sudah jauh tertinggal, Allah selalu membuka pintu. Karena sejatinya, dakwah yang paling mulia adalah ketika seorang ayah menjadi imam yang dicintai anak-anaknya, dan seorang ibu menjadi pelita yang menuntun langkah mereka dalam gelapnya zaman.

Mari kita rawat keluarga kita. Sebab di sanalah ladang dakwah kita yang paling jujur dan paling menentukan masa depan.


Sebelumnya :