Oleh Arief Riyanto (Founder Parentspedia)
Dalam perjalanan hidup, kita menyaksikan berbagai bentuk hubungan cinta. Ada yang tumbuh dan layu secepat musim berganti, ada pula yang bertahan kokoh seiring waktu, menua bersama hingga maut memisahkan—seperti cinta tulus yang mungkin pernah kita lihat dalam sosok orang tua atau kakek-nenek kita. Hubungan yang tak hanya bertahan, tapi tumbuh dan mekar dalam kesederhanaan hari-hari yang panjang.
Lalu, apa yang membuat cinta mereka bisa begitu kuat, begitu dalam, hingga melewati badai kehidupan tanpa runtuh?
Cinta, pada dasarnya, adalah anugerah. Sebuah karunia lembut dari Allah yang bisa hadir secara alami, namun juga bisa tumbuh dari niat yang tulus dan usaha yang tak kenal lelah. Ia bukan sekadar rasa, bukan pula hanya kata-kata. Cinta sejati butuh tindakan, butuh kesungguhan, dan terutama butuh pemeliharaan.
Mencintai adalah kata kerja. Ia menuntut aksi nyata—kerja hati, kerja jiwa. Seperti taman yang harus disiram, dipangkas, dan dijaga dari hama, cinta pun demikian. Tanpa perhatian, ia bisa layu. Tanpa usaha, ia bisa pudar. Dan tanpa kesabaran, ia bisa lenyap begitu saja.
Karena cinta bersemayam di hati, tempat paling halus dan paling mudah berubah. Hati bisa goyah, bisa ragu, bisa lelah.
Maka, mencintai bukan hanya tentang memiliki, tapi tentang merawat. Tentang memilih orang yang sama, setiap hari, meski dunia terus berubah.
Cinta yang bertahan bukanlah cinta yang selalu berbunga-bunga, tapi cinta yang tahu bagaimana berteduh saat hujan, dan tetap tumbuh meski diterpa angin.
Merawat cinta adalah seni. Ia tak butuh hadiah mewah, cukup pelukan hangat, kata maaf yang tulus, dan doa yang terus dipanjatkan agar cinta tak pernah hilang arah.
Selamat mencintai. Dan lebih dari itu, selamat merawat cinta—dengan hati yang sabar, jiwa yang lapang, dan komitmen yang tak goyah oleh waktu.