Renungan Lailatul Qadar

Renungan Lailatul Qadar

Di malam Lailatul Qadar yang penuh keberkahan ini, mari kita bersimpuh dan memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan, hingga kita tergolong sebagai hamba-hamba yang meraih derajat ketakwaan di sisi-Nya.

Oleh:

Eeng Nurhaeni

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten Selatan

 

SETIAP manusia hidup mesti disodorkan berbagai masalah, cobaan, kesempitan, diguncang beragam problema dan prahara. Yang membedakan adalah, bagaimana orang itu bersikap ketika menghadapi masalah dalam hidupnya.

Ada orang yang mengambil sikap dengan tetap senyum, tapi tidak sedikit yang melampiaskan dengan mengumbar amarah, bahkan memfitnah dan mencaci-maki orang lain. Meskipun, mereka kelihatan banyak amalnya, melimpah harta kekayaannya, namun belum tentu tenang hatinya dan lapang jiwanya. Ketahuilah, bahwa hal itu cuma pandangan kasatmata manusia. Belum identik dalam penilaian dan pandangan di mata Allah Swt.

Kita kelihatan bersih dan terhormat, hakikatnya karena Allah masih menutupi aib dan kesalahan kita. Coba kalau kita menjauh dari-Nya, siapa yang mampu menjaga dokumen rahasia amal-amal kita, terutama amal-amal yang negatif. Jika Allah berkehendak salah satu aib dan kesalahan kita viral ke tengah publik, siapa yang berkuasa untuk menutupinya. Dan jikapun kita mendapat anugerah kehormatan dan kemuliaan, siapa pula yang sanggup menahan dan menjegalnya.

“Beruntunglah orang yang mahir mengevaluasi dirinya, daripada sibuk mengorek-ngorek kesalahan orang lain.” Hadits Nabi ini sangat filosofis dan sangat dalam maknanya. Karena itu, jika kita ingin tergolong manusia bertakwa, salah satu syaratnyanya, kita harus pandai mengidentifikasi diri. Bukan sibuk mengkalkulasi aib dan kesalahan orang, lalu merasa berhak untuk mengklaim bahwa dirinya lebih tinggi derajatnya ketimbang orang lain.

Kita diperintahkan untuk berbaik sangka kepada Allah, sepahit apapun derita hidup yang sedang kita alami. Karena kesempitan hidup tidak selamanya, begitu juga kelapangan hidup tidak selamanya kita jalani. Kita diperintahkan agar konsisten, istiqomah, jangan berputus asa dari rahmat dan kasih sayang Allah, meskipun tengah dirundung gelimang cobaan dan ujian berat, seperti di masa pandemi Corona ini.

Bahkan, tiga hari sebelum wafatnya, Rasulullah masih sempat memberi tausiyah kepada para sahabat. Menurut kesaksian Jabir bin Abdillah, ketika itu Rasul berpesan, “Janganlah di antara kalian mati melainkan dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.” (H.R. Muslim dan Ahmad).

 Jika kita renungkan dengan seksama, sebenarnya tidak ada takdir Allah yang sia-sia tanpa hikmah dan rahasia indah. Nalar dan imajinasi kita belum cukup untuk menduga secara tepat apa yang akan terjadi dan menimpa hidup kita. Karena itulah, kita diperintahkan untuk terus berdoa, meminta, memasrahkan urusan hidup dengan cara meningkatkan pengabdian kita kepada Allah Swt.

Selalu ada waktu kita memperoleh nikmat sebagaimana adanya waktu kita mendapatkan musibah. Satu hal yang harus kita yakini, sebagaimana Allah berkuasa memberikan kejutan berupa musibah saat ini, sungguh Allah juga berkuasa memberikan kejutan nikmat hidup dalam waktu sekejap. Dia Yang berkuasa menghidupkan yang mati dan mematikan yang hidup, sudah pasti sangat berkuasa untuk membahagiakan hati yang sedang pilu. Sangat mudah bagi-Nya untuk menyelesaikan urusan hidup yang tak kunjung usai.

Ada ungkapan yang sangat relijius, bahwa sesuatu yang terbaik menurut kita, belum tentu yang terbaik menurut Allah. Dapat juga diartikan bahwa sesuatu yang benar menurut kita belum tentu benar menurut Allah. Kita seringkali mendengar petuah yang sakti dari para alim-ulama ketika dimintai nasihat oleh muridnya, yakni “hendaknya kita bersabar dalam menghadapi cobaan dan ujian ini”.

Sabar adalah kata yang ringan diucapkan tetapi kepentingannya sungguh luar biasa. Hingga Allah sendiri menekankan bahwa sabar adalah kata kunci terbaik. Seringkali orang mengeluhkan sesuatu bahwa dia sudah berusaha seoptimal mungkin, sudah rajin beribadah dan berdoa, tapi mengapa nasibku seperti ini? Apa kesalahan saya, Pak Kiai?

Pertanyaan “apa kesalahan saya” mengindikasikan bahwa manusia punya sifat-sifat “sok tahu” atau merasa dirinya tahu segalanya. Merasa dirinya bersih dan suci, lalu Tuhan disalah-salahkan, karena Dia belum mengabulkan doa-doanya. Justru gugatan seperti itu muncul karena orang itu belum mahir mengidentifikasi masalah dalam dirinya. Padahal, Rasulullah menyarankan pentingnya kesibukan kita untuk membaca diri, bermuhasabah, karena hidup manusia sarat dengan berbagai kekurangan dan kekhilafan yang dilakukannya.

Tak bisa dipungkiri bahwa hidup manusia sangat dilumuri dosa dan kesalahan. Banyak hal yang membuat kita -- disadari atau tidak -- memiliki andil tersendiri dalam penyelenggaraan ketimpangan dan kerusakan tatanan kosmos yang diamanatkan Tuhan agar kita (selaku kahlifah) merawat dan melestarikannya.

Di malam Lailatul Qadar yang penuh keberkahan ini, mari kita bersimpuh dan memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan, hingga kita tergolong sebagai hamba-hamba yang meraih derajat ketakwaan di sisi-Nya. “Allahumma innaka afuwwun tuhibbul afwa fa’fuanni.” *

Sebelumnya :
Selanjutnya :