UMMATTV JAKARTA--Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Komite Fikih Islam Organisasi Kerjasama Islam (OKI) sepakat menjalin kerjasama. Kesepakatan ini tertuang dalam nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani kedua belah pihak pada Ahad (13/6) lalu.
Penandatangan dilakukan Ketua MUI Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga Prof Amany Lubis dan Wasekjen MUI Habib Ali Hasan Bahar. Sementara dari pihak Komite oleh Sekjen Komite Fikih Islam (Majma’ al Fiqh al Islami) Organisasi Kerjasama Islam (OKI) Prof Dato Dr Koutoub Moustapha Sano.
Dalam sambutannya, Prof Amany Lubis yang juga Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengutarakan apresiasi tinggi dan suka cita atas terjalinnya hubungan antara kedua lembaga. Tujuan pertemuan ini adalah untuk penandatangan MoU dengan Komite sehingga terselenggara bersama dan dilaksanakan bersama. Baik berupa program jangka pendek ataupun jangka panjang seperti seminar dan konferensi.
“Penandatanganan MoU ini, agar mempermudah urusan dan juga membantu untuk meningkatkan riset dan kompentensi kader-kader ulama Indonesia,” kata dia.
Dia mengatakan, di samping itu pula kerjasama akan membuka wawasan problematika di dunia Islam, khususnya Indonesia, termasuk mengetahui kompetensi ulama dan ulama perempuan di seluruh dunia.
“Melalui kerjasama dengan Komite yang berpusat di Jeddah Insya Allah kita ingin cita-cita tersebut terwujud, demi kebaikan umat di Indonesia dan seluruh Indonesia,” tutur dia.
Prof Amany juga menyinggung pentingnya kerjasama yang melibatkan aktivis dan ulama perempuan. Dia menyebut di Indonesia banyak aktivis dan ulama serta kader-kader perempuan di 34 provinsi. “Tentu kita juga ingin menindaklanjuti dengan Komisi Perempuan dan Anak serta Lanjut Usia di Komite Fikih Islam Internasional ini.
Sementara itu, Sekjen Komite Fikih Islam (Majma’ al Fiqh al Islami) Organisasi Kerjasama Islam (OKI) Prof Dato Dr Koutoub Moustapha Sano, mengaku senang dengan pertemuan bersejarah ini. Dia sangat senang dengan inisifatif dan respons cepat atas kerjasama yang menunjukkan antusiasme MUI bekerjasama dengan Komite.
Baik Komite ataupun MUI, menurut dia, pada dasarnya juga referensi umat yang di Indonesia. Komite merupakan representasi dari 57 negara Islam. Dia menyebut kesepakatan ini merupakan terobosan kerjasama dengan waktu rekor, sangat cepat.
Hal ini dinilai sebagai penegasan tentang keinginan tulus, sebagaimana pertemuan dengan Ketua Umum MUI beberapa waktu lalu. Dia menyatakan lembaga ini mempunyai hak sama, untuk korelasi kuat dengan Komite, yang melandasi kerjasama pada masa mendatang dengan komisi-komisi terkait seperti Komisi Fatwa dan lainnya yang menjelaskan hukum syariat ke umat Islam di semua tempat.
Dia menjelaskan, Komite mempunyai fungsi sebagai referensi fikih Islam internasional pertama untuk umat Islam yang dirujuk negara-negara anggota, komunitas Muslim internasional, untuk mengklariafisi problematika umat dimanapun dan kapanpun mereka berada.
Posisi referensi ini yang pertama dan internasional karena Komite terdiri dari ulama-ulama senior umat. “Karena itu kita bergembira atas penandatangan ini, sebagai penegasan dan penguatan kerjasama yang akan dimulai sejak sekarang antara MUI dan Komite,” tutur dia.
Dia berharap permulaan ini akan memberkahi even seminar pertama yang akan digelar 25 Juni di Jakarta, seperti komunikasi ktia dengan Kemenag, Kemenkeu, dan Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI).
“Dan kita berharap pihhak penyelenggara ini adalah MUI, kita sudah sampaikan. Dan kita akan mendukung penuh acara tersebut, karena kita tahu bahwa di MUI terdapat banyak ulama dan pemikiran brilian, dan kaidah kebangsaan yang kuat,” kata dia.
Terkait teknis, menurut Koutoub, dengan penyelenggaran bersama seminar tersebut, biasanya Komite jika menggelar acara di suatau negara, ada pihak lokal yang bertanggungjawab. Dalam konteks kegiatan di atas, dari pihaknya ada Kementerian Urusan Agama sedangkan dari Indonesia bisa dari MUI dan IAEI yang dimpimpin Menteri Kuangan Sri Mulyani.
“Pihak-pihak ini yang akan menyelenggarakan pelatihan tersebut, dan insya Allah diberkahi dan menjadi yang pertama, untuk Indonesia. Serta menjadi role model untuk pelatihan berikutnya, dimana akan ada pernyataan bersama Piagam Jakarta, dan akan diikuti ulama-ulama MUI,” kata dia.
Dia juga menambahkan, setelah even seminar mendatang akan digelar pelatihan-pelatihan spesifik di Jeddah, dubai, Oman, dan negara lainnya, Komite mempunyai program harus menyelenggarakan dalam satu tahun tak kurang dari 20 konferensi internasional, dan tidak kurang 50 seminar khusus, dan 30 lokakarya.
Selain itu, pihaknya juga mempunyai program penulisan buku, penerjamahan, dan penerbitan karya-karya ilmiah. “Kita ada bank yang siap menerbitkan kitab spesial dengan nama Komite. Dan dalam waktu dekat, kita akan menerbitkan Kitab Islam IV yang menghimpun keputusan komite, terdiri dari 238 keputusan, dan akan terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang menjadi bahasa 200 juta umat Islam,” tutur dia yang juga menggarisbawahi kerja Komite yang berlandaskan prinsip iktidal dan moderat.
Dalam kesempatan itu, dia sepakat juga dengan pentingya mempersiapkan kader ulama-ulama perempuan. Kesadaran itu pulalah yang melandasi dibentuknya komisi khusus perempuan di lembaganya tersebut. “Kami baru saja membentuk komisi khusus untuk perempuan, karena itu saya mengapresiasi MUI yang mewadahi ulama perempuan,” tutur dia.
MoU antara kedua lembaga akan fokus pada sejumlah poin kerjasama yaitu sebagai berikut pertama, memperkuat kerjasama dalam bidang fatwa, pengkajian dan penel, penerjemahan buku-buku dan karya ilmiah di bidang fikih dan pemikiran, dan penerbitan karya tulis dan manuskrip berhraga yang dapat memberikan manfaat bagi umat islam di dunia maupun masyarakat dunia.
Kedua, melakukan penyelenggaraan kegiatan yang dilakukan atas inisiasi secara bersama berupa kegiatan-kegiatan ilmiah seperti seminar, konferensi, dialog, dan pelatihan berkaitan dibidang fikih Islam.
Ketiga, saling memberikan bantuan ilmiah, teknis, dan administratif dalam mewujudkan program-program ilmiah. Keempat, saling melakukan pertukaran sumber pengetahuan dan pengajaran, dan publikasi di bidang fikih kontemporer yang dapat memberikan manfaat, dan mewakili masing-masing pihak dalam agenda resmi pertemuan-pertemuan berkaitan dengan pemenuhan maksud dan tujuan dari Nota Kesepahaman ini.*