Di balik kesunyian ruang ngaji, ketundukan para santri di depan kiai, dan bisikan munajat di berbagai sudut ruang pesantren, terdapat pesan abadi tentang keluhuran:
Oleh : Erdy Nasrul (Wartawan Republika dan Pemerhati Pesantren) Fenomena sosial di pesantren kerap kali tampak sederhana di permukaan. Pakaian santri yang sederhana, antrean panjang untuk mandi dan berwudhu, tidur berdesakan di asrama, atau ritual berebut air bekas minum kiai—semuanya tampak “biasa” bagi kedua mata. Namun, di balik kesederhanaan itu tersimpan kedalaman makna yang tak bisa dijangkau oleh pandangan sekilas lensa kamera. Di sinilah pentingnya memahami pesantren dengan pendekatan yang lebih mendalam, seperti yang diajarkan Edmund Husserl dalam fenomenologinya: kembali kepada “hal itu sendiri”—melihat makna di balik fenomena, bukan sekadar menilai dari permukaannya. Fenomenologi Husserl menuntun kita untuk menunda penilaian (epoché) dan menanggalkan prasangka sebelum memahami realitas sosial. Dalam konteks pesantren, itu berarti kita harus berhenti memandang pesantren sebagai institusi tradisional yang tertinggal dari modernitas. Kita perlu memasuki dunia makna para santri dan kiai, memahami bahwa tindakan-tindakan mereka lahir dari kesadaran spiritual dan nilai-nilai yang telah teruji ratusan tahun. Ketika seorang santri menundukkan kepala di depan kiai, itu bukan tanda feodalisme, melainkan ekspresi penghormatan terhadap ilmu dan sanad keilmuan yang tak terputus. Beberapa waktu lalu, sebuah konten digital menampilkan potongan kehidupan santri dan kiai di Pesantren Lirboyo, Kediri. Tayangan itu menjadi kontroversi karena gagal membaca pesan kultural di balik tradisi pesantren. Kamera memang menangkap gerak, tapi gagal memahami makna. Fenomenologi mengingatkan kita bahwa makna sejati tak terletak pada citra, melainkan pada kesadaran batin yang melatarinya. Bagi para santri, setiap perilaku yang tampak sederhana memiliki horizon makna yang luas—sebuah cara hidup yang mengajarkan adab, kesabaran, dan penghormatan terhadap ilmu. Jika diamati dengan kacamata fenomenologis, kehidupan pesantren adalah ruang perjumpaan antara dunia lahir dan batin. Setiap amalan, dari mengaji hingga mencuci piring, memiliki nilai spiritual yang dihayati sebagai bagian dari perjalanan menuju Tuhan. Dalam dunia ini, realitas tidak diukur dari kemewahan atau kecepatan, melainkan dari kedalaman makna. Maka ketika publik hanya melihat “tampilan luar” pesantren tanpa memahami jiwanya, yang muncul adalah kesalahpahaman dan ketimpangan persepsi. Husserl mengajarkan bahwa memahami makna harus dilakukan dengan empati—masuk ke dalam kesadaran orang lain tanpa menghakimi. Begitu pula dalam membaca fenomena sosial pesantren. Kita perlu memasuki “kesadaran santri”, merasakan bagaimana mereka memahami hidup, ilmu, dan guru. Kita harus menyelami bagaimana dzikir, sorogan, dan bandongan bukan sekadar cara membaca kitab kuning, tapi lebih dari itu, ini adalah upaya hati tersambung dengan ketenangan ruh pengarang dan orang shaleh, hingga membuka pintu Arasy sehingga Allah meridhai mereka tenggelam dalam samudera ilmu. Dengan pemahaman yang demikian, pesantren seperti Lirboyo merupakan laboratorium kemanusiaan yang menumbuhkan nilai-nilai luhur—ta’zhim, keikhlasan, dan kebersahajaan. Dari sinilah muncul para tokoh bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga matang secara moral dan spiritual. Pesantren melahirkan manusia yang berpikir dengan hati bernalar berdasarkan ilmu-ilmu rasional, berempati terhadap lingkungan sekitar, sekaligus didoakan para malaikat yang tak berhenti bertawaf mengelilingi Baitul Makmur di langit sana. Pada akhirnya, memahami pesantren berarti memahami makna Indonesia itu sendiri—sebuah bangsa yang dibangun dari nilai gotong royong, kebersahajaan, dan keimanan. Pendekatan fenomenologis ala Husserl mengajarkan kita untuk tidak berhenti pada fenomena yang tampak, tetapi menembus hingga ke esensinya. Di balik kesunyian ruang ngaji, ketundukan para santri di depan kiai, dan bisikan munajat di berbagai sudut ruang pesantren, terdapat pesan abadi tentang keluhuran: bahwa kemuliaan sejati tak selalu bersuara lantang, tapi sering bersembunyi dalam diam dan ketulusan. Semoga Allah semakin melembutkan hati kita. Bogor, 16 Oktober 2025