Dakwah Jalan Ummat Terbaik

Dakwah Jalan Ummat Terbaik

GURU kami Al-Ustadz Muhammad Zaitun Rasmin hafidzahullah pernah mengatakan, Cita-cita para sahabat Nabi itu hanya dua; masuk surga dan menjayakan Islam sebagai jalan masuk surga. Setiap kali teringat kalimat inspiratif tersebut saya selalu merenung dan menyimpulkan, inilah rahasia kemualiaan para Sahabat Nabi. Mereka mulia bukan hanya karena ditakdirkan hidup di zaman Nabi. Tapi mereka mulia karena niat suci dan cita-cita luhur yang terpatri dalam jiwa mereka.

Cita-cita luhur mereka adalah masuk surga, tempat kembali yang dirindukan semua orang. Dan mereka memilih jalan paling mulia untuk memasuki tempat kembali yang mulia tersebut. Jalan mulia itu adalah perjuangan menjayakan Islam dengan dakwah dan jihad di jalan Allah. Sebab itu mereka dipilih oleh Allah untuk menjadi pendamping Nabi dalam perjuangan menebar kebenaran dan kemuliaan Islam.

Para sahabat Nabi menggapai kemuliaan karena jalan mulia yang dirintis oleh manusia termulia, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam. Jalan mulia itu adalah dakwah yang merupakan jalan hidup Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa sallam dan setiap Muslim yang menjadi pengikutnya, sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam surah Yusuf ayat 108:

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.

Ayat ini menunjukan bahwa da’wah (mengajak) kepada Allah merupakan kewajiban setiap Mukmin yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1] Al-Hafidz Ibn Katsir mengatakan, melalui ayat ini Allah Ta’ala menyuruh Rasul-Nya Shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk mengabarkan kepada tsaqalain: manusia dan jin, bahwa da’wah merupakan jalan hidupnya, yaitu thariqat dan sunnahnya, da’wah (mengajak kepada Allah maksudnya mengajak) kepada kalimat syahadat Laa Ilaaha Illalllaa Wahdahu Laa Syariyka Lahu. Dia dan seluruh pengikutnya mengajak (berda’wah) kepada apa yang dida’wahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas bashirah (ilmu), keyakinan, burhan (argumen) aqli dan syar’iy.[2]

Senada dengan Ibn Katsir, Syekh Al-Sa’di berkata tentang tafsir ayat di atas, bahwa:

Allah S.W.T berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad S.A.W “Katakanlah” kepada manusia, “inilah jalanku”, maksudnya thariqahku yang aku mengajak kepadanya, ia adalah jalan yang mengantarkan kepada Allah dan tempat kembali yang mulia, (da’wah) yang mencakup ilmu pengetahuan tentang kebenaran serta pengamalannya.[3]

Al-Qasimi mengatakan bahwa frasa “Qul Hadzihi Sabili” bermakna bahwa “Jalan ini yaitu da’wah (mengajak) kepada keimanan dan tauhid merupakan jalanku, yakni thariqahku, jalan hidupku, dan sunnahku”. Sedangkan frasa “ana wamanittaba’ani” bermakna “orang-orang yang beriman kepadaku juga mengajak (berda’wah) kepada Allah di atas bashirah (ilmu) bukan di atas hawa hawa nafsu.[4]

Frasa “ana wamanittaba’ani” dalam ayat ini menurut Al-Jazairi bermakna “aku dan pengikutku dari kaum Mu’minin, kami semua berda’wah (mengajak) kepada Allah di atas bashirah (ilmu)”.[5] Menurut Ibnu Abbas sebagaimana dikutip Al-Maraghi bahwa  yang dimaksud dalam frasa, “Waman Ittaba’aniy” adalah para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berada di atas jalan terbaik, hidayah paling lurus, gudang ilmu, tentara Allah (jundurrahman).[6] Al-Maraghi juga mengutip perkataan Ibnu Mas’ud, bahwa:

para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia paling utama dari umat ini, paling baik hatinya, paling mendalam ilmunya, mereka dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan Agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka dan ikutilah jejak langkah mereka, pegang teguh semampu kalian akhlaq dan jalan hidup  mereka karena mereka berada di atas jalan yang lurus (al-Shirath al-Mustaqim).[7]

Dari ayat di atas disertai penjelasan para ahli Tafsir menunjukan bahwa sesungguhnya da’wah merupakan jalan hidup Rasulullah dan para sahaabatnya serta pengikutnya yang istiqamah meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam  sebagaimana secara tegas ditunjukan oleh kalimat, “Inilah jalanku, aku megajak (berda’wah) kepada Allah di atas bashirah (ilmu). Demikian pula orang-orang yang beriman kepadaku dan mengikutiku”.

Da’wah Harus dengan Ilmu

Dalam ayat diterangkan pula bahwa da’wah ‘alaa bashirah merupakan karakterstik dari da’wah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya. Kata bashirah dalam ayat di atas ditafsirkan oleh Syekh as Sa’diy dan Ibn ‘Utsaimin dengan ilmu.[8] Senada dengan As-Sa’di dan Shaleh bin Abdul Aziz Ali Syaikh mengatakan, “maksud dari potongan ayat ini (12:108), bahwasanya da’wah itu harus dilandasi dengan ilmu pengetahuan dan keyakinan”.[9] Lebih lanjut Syekh ‘Utsaimin menerangkan bahwa bashirah atau ilmu yang mesti dimiliki oleh seorang da’i terkait dengan tiga hal; (1) Ilmu tentang topik/materi da’wah, (2) ilmu tentang kondisi objek da’wah, dan (3) ilmu tentang kaifiyat (metode) da’wah.[10] Dakwah harus dengan ilmu karena hakikat dari dakwah adalah mengajak dan menyuruh berbuat baik serta melarang dari kemunkaran. Lalu bagaimana seseorang mengajak kebaikan dan melarang dari kemunkaran atau keburukan, jika dia sendiri tidak dapat memberikan penilaian baik dan buruk atau ma’ruf dan munkar dalam suatu masyarakat? Bagaimana dapat melaksanalan dakwah jika objek dakwah yang didakwahi tidak diketahui keadannya?[11]

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, jelas bahwa dakwah Islamiyah yang merupakan kewajiban setiap ummat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam harus tegak di atas ilmu. Artinya seorang juru da’wah harus memiliki ilmu pengetahuan tentang materi da’wah yang disampaikannya, kondisi objek da’wahnya, dan metode da’wah yang diterapkannya. Selain itu da’wah berdasarkan ilmu juga merupakan bagian dari makna hikmah yang merupakan uslub (metode) da’wah yang diper intahkan oleh Allah dalam surah An-Nahl ayat 125:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik..

Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk mengajak manusia ke jalan (agama) Allah dengan cara yang bijak (hikmah). Hikmah artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya.[12] Dalam konteks metode da’wah hikmah dapat dimaknai memilih bahasa dan metode da’wah yang sesuai dengan kondisi dan latar belakang objek da’wah sebagaimana dinyatakan oleh Syekh Al-Sa’diy ketika menafsirkan surah al-Nahl ayat 125 di atas.

Hendaklah da’wahmu kepada manusia baik Muslim maupun kafir untuk mengajak mereka ke jalan Tuhanmu yang lurus, mencakup ilmu yang bermanfaat dan ‘amal sholih dengan “hikmah”, yaitu sesuai keadaan, pemahaman, penerimaan, dan ketundukannya. Dan diantara makna hikmah adalah berda’wah dengan ilmu bukan  dengan kejahilan, memulai dengan perkara yang lebih penting, serta hal-hal yang dekat kepada pikiran dan pemahaman (objek da’wah)….[13]

Dari dua ayat di atas dapat ditarik simpulan bahwa da’wah sebagai kewajiban mengharuskan pengusung dan pengembannya memiliki ilmu. Oleh karena itu mustahil seorang da’i melakukan da’wah tanpa ilmu. Berda’wah tanpa ilmu berpotensi menjerumuskan objek da’wah kepada kesalahan dan paham menyimpang. Semakna dengan pernyataan al-Utsaimin dan Al-Sa’di tentang makna dan hakikat ilmu bagi juru da’wah, Abu Ridha sebagaimana dikutip Miswan Thohadi menjelaskan bahwa ilmu bagi seorang da’i meliputi tiga hal; pertama, ilmu tentang materi da’wah (maddatud da’wah), yakni substansi ajaran-ajaran Islam yang kita da’wahkan, kedua, ilmu tentang manhaj da’wah, yaitu metodelogi dan segala hal yang berkaitan dengan visi, misi, strategi, teknik, dan sebagainya, dan ketiga, ilmu tentang watak da’wah (thabi’atud –da’wah), yakni bahwa da’wah ini bukanlah jalan pintas yang lapang tanpa hambatan. [14]

Da’i yang kompeten yang memiliki hikmah dan bashirah dapat dibentuk melalui pendidikan dan kaderisasi yang kontinue, dengan memperhatikan berbagai aspek yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan metode yang tepat. Tentu saja da’i yang kompeten yang dimaksud tidak hanya memiliki pengetahuan agama sebagai materi dakwah saja, tetapi juga harus memiliki pengetahuan tentang metode dan sarana yang sesuai objek dakwah yang didakwahinya.  Oleh karena itu dibutuhkan program pendidikan dan kaderisasi da’i yang efektif dan efisien serta sesuai dengan tuntutan zaman.

Kaderisasi da’i merupakan suatu kemestian dalam menghadapi tantangan dakwah di erah global dan disrupsi. Sejak satu dawarsa yang lalu cendekiawan Muslim Amin Rais telah menekankan kaderisasi sebagai salah satu Pekerjaan Rumah Dakwah Islam di era informasi agar dakwah tetap relevan, efektif, dan produktif. Menurutnya ada lima hal yang dapat dilakukan yaitu, pertama, Perlu ada pengkaderan yang serius untuk memproduksi juru-juru dakwah dengan pembagian kerja yang rapi. Ilmu tabligh belaka tidak cukup untuk mendukung proses dakwah. Diperlukan pula berbagai penguasaan dalam ilmu-ilmu teknologi informasi yang paling mutakhir.

Kedua, Setiap organisasi Islam yang berminat dalam tugas-tugas dakwah perlu membangun laboratorium dakwah (labda). Dari hasil labda ini akan dapat diketuhui masalah-masalah riil di lapangan  dan dari situ, dengan melihat potensi yang dimiliko oleh organisasi-organisasi yang bersangkutan, dapat dijawab pertanyaan ; apa yang dapat dilakukan?

Ketiga, Proses dakwah tidak lagi dibatasi sebagai  dakwah bil-lisan, tetapi harus diperluas dengan dakwah bilhal, bil kitabah, bilhikmah (dalam arti politik), bil iqtishadiyah (ekonomi), dlsb. Yang jelas actions speak louder than words.  Keempat,  Media massa cetak dan elektronik harus dipikirkan sekarang juga.[15] Media elektonik yang dapat menjadi wahana atau sarana dakwah perlu dimiliki oleh umat Islam.

Kelima, Merebut remaja Indonesia adalah juga tugas dakwah Islam jangka panjang. Anak-anak dan para remaja kita adalah aset yang tak ternilai bagi kita semua. Mereka wajib kita selamatkan dari pengikisan aqidah yang dapat terjadi  karena invasi nilai-nilai non Islami ke dalam jantung berbagai komunitas Islam di Indonesia. Bila anak-anak dan remaja kita memiliki benteng tangguh dalam era globalisasi dan informasi sekarang ini, insya Allah masa depan dakwah kita akan tetap ceria. [16]

Walaupun disampaikan seperampat abad yang lalu usulan Amin Rais tentang solusi problematika dakwah Islam di tanah air masih tetap relevan untuk dilakukan di era milenial dan disrupsi saat ini. Dimana pemanfaatan media informasi, penguatan kapasitas dan kompetensi da’i, serta kaderisasi da’i merupakan kalimat kunci  sebagai solusi atas problematika umat dan probelamika dakwah saat ini. []

 

____

Fotenote:

[1]Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Aisar Al-Tafasir Li Kalam Al-‘Aliyyi Al-Kabir, Damanhur: Maktabah Linah, 608

[2]Imaduddin Abul Fida Ismail bin Umar Ibn Katsir Al-Qurasyi Al-Damasyqi (Selanjutnya disebut Ibn Katsir), Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim (Tafsir Ibn Katsir), Jilid 2, Riyadh: Dar Al-Salam Li Al-Nasy Wa Al-Tauzi’, 1414 H/2004 M, hlm. 1437

[3]Al-Sa’diy, Tafsir Al-Sa’diy, hlm.

[4]Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi, Mahasin al-Ta’wi/Tafsir Al-Qasimi, Beirut: Dar al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1418/1997, jili.6, hlm. 232

[5] Abu Bakar, Aisar, hlm. 608

[6]Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,  Beirut: Darul Fikr, hlm. 52

[7]Ibid, hlm. 52-53

[8]Al Sa’diy, Taisiyr,jiid 1,hlm.1032, Muhammad ibn Sholeh al ‘Utsaimin, Zaad al Daa iyah, www.attasmen.com.

[9] Shaleh bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Ali Syaikh, Ghoyatul Murid, Keterangan Tentang Kitab Tauhid, 2003, hlm. 37.

[10] Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Zad al-Da’iyah Ilallah, Unaizah: Muassasah Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin al-Khairiyah, 1434 H, cet.2, hlm. 7-9

[11] Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu, 4,

[12]Secara etimologis (lughatan), hikmah memiliki beberapa makna, diantaranya; kebijaksanaan, bagus (sehat) nya pendapat dan pikiran, ilmu pengetahuan, filsafat, kenabian, keadilan, peribahasa, dan Al-Qur’an al-Karim (Lih: A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progresif, cet,ke. 14, 1997, hlm. 287. Dalam Mukhtar al-Shihah disebutkan, al hikmah min al-‘ilm -hikmah adalah ‘ilmu- (Zain al-Din Muhammad ibn Abi Bakr ibn ‘Abd al-Qadiral-Razi (w.666 H), Mukhtar al-Shihah, Madinah al-Munawwarah: Maktabah Taybah dan Beirut: Muassasah al-Risalah dan Dar al-Bashair, 1407 H/1987 M, hlm. 148.

[13]AlSa’diy, Taisiyr,jilid 1, hlm.1150-1151.

[14]Miswan Thohadi, Quantum Dakwah & Tarbiyah; Menuju Kemenangan Islam di Pentas Peradaban, Jakarta: Al-I’tisham, 2013, cet ke-2, hlm. 39-40.

[15]Pernyataan ini disampaikan Amin Rais  seperampat abad yang lalu dimana media informasi saat itu didominasi oleh media cetak. Media elektronik belum seperti saat ini. Tentu saja substansi dari gagasan ini adalah memanfataakan kemajian teknologi informasi baik cetak, elektronik, maupun media sosial untuk penyebaran dakwah.

[16]H.M. Amin Rais, Moralitas Politik Muhammadiyah,  Yogyakarta: Dinamika, 1995, hlm. 105-106


Sebelumnya :
Selanjutnya :