Oleh:
Hanibal Wijayanta
SELEPAS shalat malam menjelang subuh, Rabu 2 Desember 2020, entah mengapa tangan saya tergerak untuk meraih telepon genggam. Seolah ada yang menuntun, saya langsung membuka aplikasi WA, lalu membuka grup Keluarga Alumni LDK.
Saya lihat ada pesan dari nomor Kang Nurbowo, pukul 00.47: “Bapak yang punya hp lagi sakit dan dirawat di RS di Pesisir Selatan.”
“Deg!” jantung saya langsung berdegup kencang.
Selanjutnya, Kang Sumunarjati memposting kabar kelanjutannya pada pukul 02.50: “Ya ikhwan dan akhwat.. saya mendapat kabar duka... Sahabat kita tercinta sudah kembali ke pangkuan-Nya... Ya Allah... Ya Allah... Semoga berita ini tidak benar, tapi saya WA Ustadz Adian... beliau membenarkan...”
Saat itu saya masih setengah tak percaya, dan terwakili posting pertanyaan Bang Zulkarnain pukul 02.50: “Siapa?”
Pada saat yang hampir bersamaan, Kang Jati meneruskan kabar: “Yang ngabari dari Dewan Dakwah. Mereka lagi safari ke arah Padang. Di Pesisir Selatan, yang bersangkutan pingsan dan meninggal di sana. Saat ini jenazah masih di Pesisir Selatan. Lagi diurus pengurus DDII di sana. Kemungkinan 10 jam perjalanan darat. Pesawat tidak memungkinkan, harus ini itu, kata pengurus DDII...”
Lalu...
“Akhina Nurbowo...”
Sejenak saya masih termangu-mangu membaca kabar duka dini hari itu, sampai kemudian tak terasa air mata mulai mengambang di pelupuk mata.
Ketika isteri saya bertanya, “Ada apa?” Seketika air mata pun luruh...
“Kang Bowo meninggal...”
+++
Selama hampir dua tahun terakhir, berita itu sungguh saya takutkan. Sebab, selama ini saya mengetahui bahwa Kang Bowo, guru dan sahabat saya itu mengalami gangguan jantung. Beberapa kali dia harus dirawat di rumah sakit atau rawat jalan gara-gara masalah di jantungnya itu. Tapi dia selalu tampak santai dan penuh canda menjalani sakitnya, bahkan seolah tak terlalu peduli dengan kondisi tubuhnya. Misalnya ketika saya tanya via WA pada 29 September 2019, ketika kami tengah sibuk menginisiasi Aksi Relawan Mandiri Himpunan Alumni IPB.
“Katanya lagi sakit?”
“Yo ini mekso nongol, sakno Husein,”
“Sakit apa?”
“Biasa, lelah dan bengek, wis tuwo...”
“Kurang jamu galian kabel, Kang... Syafakallah...”
Ia pun menjawab dengan emoticon tersenyum dan jempol.
Saat itu rupanya mulai terdeteksi bahwa ada masalah di jantungnya.
Beberapa kali saya sempat ngobrol via WA, zoom, dan juga ketemu langsung dengan Kang Bowo. Setiap kali bertemu, saya selalu mengingatkan agar dia jangan sampai kecapean, dan meminta sedikit mengurangi jadwal muhibbahnya.
“Wis tuwo, Kang... ojo kesel-kesel,” kata saya mengingatkan.
“Sippp... insyaa Allah,” ujarnya dengan nada riang. Seolah tak ada masalah sama sekali di tubuhnya.
Tapi tetap saja. Saat saya pantau via facebook dan beberapa grup WA yang kami ikuti, Kang Bowo masih saja rajin muhibbah ke luar daerah sambil memposting gambar selfie dengan berbagai caption lucu dengan guyonan khasnya.
Sebagai penanggung jawab penyaluran LAZIS Dewan Dakwah, dan pernah juga menjadi penanggung jawab penyaluran LAZIS Darul Qur’an, Kang Bowo memang rajin muhibbah. Ia menyambangi para dai, menyalurkan bantuan untuk para ustadz, mualaf, dan kaum muslimin marginal di desa-desa tertinggal di hampir seluruh pelosok Indonesia, yang saya bahkan belum pernah mendengar namanya, hingga sampai ke Rohingya, Bangladesh dan Thailand Selatan. Bahkan pageblug covid-19 ini pun tak menyurutkan langkahnya untuk berkunjung ke berbagai daerah.
Januari 2020 lalu, ketika saya menanyakan kondisi Kang Bowo via WA setelah mendapat kabar bahwa dia harus dirawat karena ada masalah di jantung, dia malah mendoakan saya yang sedang kena asam urat.
“Assalamualaikum... piye kabare Kang?” tanya saya.
“Waalaikum salam, sedang urus BPJS untuk tindakan jantung. Mugo sampeyan sehat selalu. ‘Perjuangan masih panjang, jaga kesehatan,’ pesan dokter Agus di RS Hermina Depok...,” ujarnya.
“Aamiin...,” jawab saya.
Tapi rupanya tindakan jantung itu tidak jadi dilaksanakan, meski seorang sahabat yang lain sudah siap membantu semuanya.
“Grogi juga kita, Bro,” ujarnya saat itu.
Namun, Kang Bowo justru sangat perhatian kepada sahabatnya yang sedang sakit, termasuk saya. Ketika saya terjangkit covid-19, September hingga Oktober lalu, beberapa kali Kang Bowo mengontak saya via WA untuk menanyakan kondisi dan terus menyemangati saya.
Pada 26 November lalu, Kang Bowo memposting foto selfie saat mengawal Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang baru terpilih, Ustadz Dr Adian Husaini di Grup WA Mantan LDK. Ia melengkapinya dengan caption, “Mohon doa restu safari ke Lampung, Sumsel, Bengkulu.”
Semua anggota grup mendoakan keberangkatan mereka, sementara saya mendoakan sambil mengguyoni dengan memposting kalimat, “Fii amaanillah… Eh, emang nggak ada pengawal Mas Husein yang bodinya agak sterek gitu?” Sebab, saat itu tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya, Kang Bowo sedang ada masalah di jantung, sehingga sebaiknya Mas Husein juga dikawal oleh orang DDII yang lain.
Edwin menjawab, “Pengawalnya besar-besar tapi ghoib, Oom Hanibal…”
Sementara Kang Bowo menanggapi keusilan saya dengan kelakar pula, “Ana mengamankan dari gangguan dan godaan akhwats…”
Selama perjalanan mengawal Ustadz Adian, Kang Bowo masih terus menanggapi perbincangan seru di grup WA tentang berbagai masalah. Sampai akhirnya muncul pesan terakhir dari nomor telepon genggamnya itu
Saya mulai mengenal Kang Bowo sejak masih di Tingkat Persiapan Bersama, IPB, tahun 1988. Kebetulan dia masuk IPB lewat jalur PMDK setahun sebelum saya, dan kemudian masuk ke jurusan Sosial Ekonomi Perikanan. Saat itu dia sudah aktif di Badan Kerohanian Islam IPB dan menjadi asisten mata kuliah Agama Islam, sementara saya masih seorang mahasiswa baru yang culun, belum lancar baca Al Qur’an, dan merasa mendapat pencerahan saat mengaji Sirah dan Hadits bersama dosen Agama Islam kami, Ustadz Prof. Dr. Didin Hafidhuddin di Masjid Al Ghifari, serta uraian para asisten mata kuliah Agama Islam termasuk Kang Bowo.
Saya semakin mengenal Kang Bowo ketika saya masuk jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan IPB, di Darmaga tahun 1989. Kebetulan saya diajak teman-teman untuk ikut in de kost di jalan Babakan Raya 3,5, di sebuah rumah besar di tepi kuburan. Ternyata di rumah itu Kang Bowo juga in de kost. Bahkan dialah yang kemudian seolah-olah menjadi “wakil ketua asrama”, mendampingi Almarhum Kang Farid Wajdi “sang ketua asrama”.
Selain saya, mahasiswa tingkat II yang kost di rumah horor itu --karena memang sering kedatangan “tamu makhluk halus” dan segala macam keanehan di sana-- adalah Ahmad Husein, Iryawan Widjaja, Adi Sasongko, Andi Rohman, Hartadi, Mashudi, dan Fahmi Riyadi Kubra. Sebagai “wakil ketua asrama”, Kang Bowo paling rajin mengingatkan kami-kami yang masih tingkat II ini agar rajin mengaji dan shalat di masjid, selain untuk belajar. Di rumah itu saya sekamar dengan Kang Sumunarjati, teman Kang Bowo sejak SMP dan SMA.
Saya masih ingat benar, saat tingkat II saya masih jadi kutu-buku. Saat itu saya masih merasa kuliah di kampus adalah segala-galanya. Kuliah dan belajar lebih penting dari yang lain. Saat itulah, Kang Bowo sering mengingatkan agar selain belajar di bangku kuliah, kita juga harus banyak belajar tentang kehidupan, tentang masyarakat, tentang agama, dan juga tentang dakwah. Yang menarik, dia tidak mengingatkan dengan cara berceramah, tapi dengan ngobrol dan bercanda.
Ketika kami stres gara-gara ujian dan quiz silih berganti hampir setiap minggu, sementara nilai pada jeblog, misalnya. Saat itu, dia memperkenalkan cara bersyukur dan bertawakal atas apa yang sudah kami upayakan dalam menghadapi ujian dengan belajar, berusaha dan berdoa.
“Alhamdulillah... ada yang bisa,” begitu yang dia contohkan, setiap kali ujian selesai berlangsung.
Kalimat yang sederhana itu ternyata bisa membuat saya terutama, tidak terlalu stress dalam menghadapi ujian.
Di tingkat II kegiatan kami rasanya banyak sekali. Selain kuliah dan praktikum, kami juga ikut berbagai kegiatan senat, jurusan, dan himpunan di kampus. Saat MPOK (Masa Perkenalan dan Orientasi Mahasiswa) terjadilah insiden seru yang selalu kami ingat. Saat itu angkatan kami C-25, memboikot pelaksanaan MPOK yang menurut kami tidak mendidik. Saya bahkan dianggap menjadi salah satu pencetus boikot itu, karena mengajak kawan-kawan keluar dari ruang RKF saat kakak kelas akan membriefing kami dengan gaya khas MPOK yang arogan dan intimidatif.
Sebenarnya saya masih agak takjub juga sampai sekarang, mengapa sampai berani berteriak --pakai Allahu Akbar-- dan mengajak kawan-kawan keluar. Padahal, kakak-kakak senior ini badannya gede-gede dan sangar-sangar, sementara saya kurus kerempeng. Anehnya, kawan-kawan C-25 mengikuti ajakan saya, dan keluar semua dari RKF meninggalkan kakak-kakak kelas yang terbengong-bengong kaget karena tak menduga kami keluar semua. Coba bayangkan jika saat itu hanya saya dan beberapa orang kawan yang keluar. Mungkin kepala saya sudah bocel-bocel juga.
Ketika akhirnya kami diwajibkan untuk mengikuti malam MPOK oleh Pak Dekan, Prof. Dr. Ismudi Muchsin, saya termasuk mahasiswa baru yang diintimidasi beberapa orang senior gara-gara insiden di RK Faperikan itu. Di kelompok kami ada Hartadi yang jago silat dan melawan dengan jurus-jurus Setia Hati-nya. Malam itu ia terus diintimidasi dan dipaksa berenang ke tengah Situ Gede. Awalnya, saya yang kurus, berkacamata tebal, dan berkulit pucat sehingga sempat dikira keturunan Cina ini, juga dipaksa berenang ke tengah Situ Gede. Tapi saya dilindungi beberapa orang PAK --yang juga kerempeng-- seperti Kang Ahmad Soim, Kang Masduki, Kang Bowo yang belum segempal belakangan ini, serta beberapa orang senior lainnya, sehingga saya urung digojlog di tengah danau.
Untuk kegiatan di luar kampus, saya sering diajak Kang Bowo untuk ngaji tafsir ke Mamak Istikhori di Pesantren Darut Tafsir, Cibanteng, lalu mengaji Kitab Hayatush-Shahabah dan Fikrul Islam ke Ustadz Hanan di Pesantren Darul Falah, yang biasanya dilanjutkan dengan main bola dan makan gorengan sepulangnya. Beberapa kali saya juga diajak ke Pesantren Abu Dzar Al Ghifari di Leuwiliang untuk mengaji ke Ustadz Abdul Hadi, lalu ke Majelis Taklim Al Ghazali di Kota Paris untuk mengaji ke Ustadz Musthafa bin Abdullah bin Nuh, dan juga ke Masjid At-Taqwa Pekojan untuk mendengar tausiyah Ustadz Abdurrahman Al Bagdadi.
Tak hanya serius kuliah, belajar, serta ikut kegiatan kampus dan ekstra kampus, di waktu senggang kami kadang mancing bareng di Situ Burung, atau genjrengan malam-malam sehabis belajar. Kebetulan di kost kami Hartadi membawa gitar. Selain Hartadi yang pinter nyanyi Ebiet G Ade sambil gitaran, jagoan gitar Bara 3,5 adalah Husein, Kang Jati dan Fahmi. Kalau Kang Jati piawai memainkan Recuerdos de la Alhambra dan sonata gitar klasik lainnya, Husen jago genjrengan musik country dan evergreen, Fahmi biasanya memainkan musik pentatonik ala Dayak yang khas. Saya biasanya ikut nyumbang suara saja, sementara Kang Bowo biasanya senyam-senyum mengawasi kami sambil sesekali menyahut kalau kami sedang menyanyi lagu klasik rock kesukaannya.
Suatu hari, seingat saya hari minggu siang, kami sedang genjrang-genjreng di ruang tamu. Rame dan riuh rendah. Bak seorang lead vocal, Kang Bowo pun bergaya dengan sebuah sapu, sambil menyanyi. Tiba-tiba terdengar suara salam yang merdu dari beberapa orang akhwat di depan pintu pagar rumah kost kami. Kami pun langsung buyar sambil cekikikan. Ternyata mbak-mbak yang akan berkoordinasi tentang suatu kegiatan kampus dengan Kang Bowo itu sudah agak lama berdiri di situ sambil mendengarkan kami nyanyi sambil genjrengan.
Sebagai penggerak kegiatan keislaman dan kemahasiswaan di Kampus IPB Darmaga, Kang Bowo beberapa kali mengajak saya menemaninya berkoordinasi dengan akhwat untuk persiapan berbagai kegiatan. “Kalau ketemu akhwat nggak boleh sendiri. Kalau sendirian namanya khalwat,” ujarnya suatu ketika. Saya manggut-manggut saja dan baru mendengar istilah khalwat itu dari Kang Bowo. Sementara, saya yang waktu itu masih benar-benar culun dan tidak pernah mau berurusan dengan akhwat, jadi tahu, o ini tempat kostnya Mbak Ini, yang ini tempat kostnya Mbak Itu. Karena aktifitasnya dalam berkoordinasi dengan akhwat itu, Kang Bowo pun sering diledek – dengan nada sedikit iri tampaknya, hehehe...-- dengan panggilan “Syaikhul Akhwat”.
Tahun 1990, ketika naik ke tingkat III, saya dan Kang Bowo pindah kost ke Babakan Tengah 47. Kali ini dia yang menjadi ketua kost. Di situlah saya semakin mengenal Kang Bowo. Ternyata ulang tahunnya empat tahun sekali, 29 Februari, sehingga kami sering meledek mengapa Kang Bowo lucu, karena umurnya saat itu baru lima setengah tahun. Sementara, lulusan SMA N 1 Wonosobo ini rupanya mantan rocker di masa SMA-nya. Bon Jovi adalah salah satu grup favoritnya. Karena itu pula ia suka memakai nama alias John Bon Bowi atau malah Bon Bon Jovi.
Yang menarik, Kang Bowo gemar memakai lirik-lirik lagu rock klasik yang sangat dikuasainya, namun dimaknai dengan ajaran Islam. Di malam hari, di kamarnya yang berada di lantai dua dengan lantai kayu yang tengah dimakan rayap --terdengar ketika kami menempelkan telinga ke lantai kayu berlapis plastik-- saya sering mendengar dia bersenandung lagu-lagu Bon Jovi, Deep Purple, Gun n’ Roses, Queen, God Bless dan sebangsanya, selain mengaji Al Quran, Sirah Nabawiah, kultum, juga bersama seluruh penghuni kost ngaji kitab Uquduluzain –Kitab Nidhomul Ijtima’i ala Pesantren-- yang disampaikan Munawar.
Di tingkat III, saya mengikuti banyak kegiatan di kampus. Saat itu saya menjadi asisten mata kuliah Ikhtiologi, sementara di himpunan saya jadi ketua bidang minat di Himiteka. Namun, Kang Bowo masih saja mendorong saya untuk aktif di Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Faperikan, sehingga kemudian terpilih menjadi Sekjen BPM Faperikan. Sementara, saat itu Kang Bowo bersama beberapa kakak angkatan yang lainnya, Kang Muhammad Sam’un, Kang Muarif, Kang Mimid dll, menginisiasi kegiatan keislaman di kampus Faperikan, dengan membentuk majelis taklim Al Marjan. Saya jadi sering ikut kajian Islam di majelis taklim itu.
Di saat kami sudah sibuk dengan berbagai kegiatan kampus dan ekstra kampus, Kang Bowo pun mengajak kami untuk menerbitkan majalah Islam untuk mahasiswa. “Bahasanya nggak usah serius-serius... yang ngepop saja... mirip Majalah Gadis, atau Hai," kata Kang Bowo. Niatnya saat itu adalah mencairkan pemahaman-pemahaman Islam yang kami pelajari dari kitab-kitab kuning maupun putih, menjadi bacaan yang enteng tapi berbobot. Segmennya untuk kawan-kawan mahasiswa yang tak sempat mengaji. Tema-tema yang kami bahas misalnya soal Ospek, soal kehidupan kampus, soal stres kuliah, soal asmara mahasiswa tingkat akhir, dan sebagainya. Tema-tema serius itu ditulis dengan gaya yang koncak, renyah, dan centil. Kang Bowo-lah yang paling jago menulis dengan gaya ngepop seperti itu. Saat itu saya nemu semboyan untuk majalah kami: Moment: renyah gayanya, padat isinya.
Di majalah itu, Kang Bowo didapuk menjadi Pemimpin Redaksi. Kawan-kawan lainnya, Ahmad Husein, Mashudi, Zulfiandri, Khairullah, Gunawan Setyadi, Edwin Aldriyanto, Wartono, Muhammadun, Yayan Buduayana, dan beberapa orang lagi menjadi staf redaksi. Sementara saya kebagian menjadi ilustrator dan layouter. Biasanya setelah saya buat ilustrasi untuk cover serta dibantu Noer Abbas dan Wartono saat melayout ala gunting tempel, majalah itu dicetak dengan difotocopy, lalu dijual dengan harga Rp 500. Mohon diingat, di tahun 1990 harga semangkuk indomie telor masih Rp 250, sate ayam Rp 700, ongkos angkot masih Rp 100.
Ternyata kehadiran majalah setebal 24 dan kemudian 32 halaman itu mendapat sambutan meriah dari para pembaca, terutama para mahasiswi. Dari yang semula dicetak (baca difotocopy) sebanyak 500 eksemplar, oplah tertinggi Moment mencapai 1.200 eksemplar. Saat itu kami benar-benar menikmati kegiatan jurnalistik full guyon ini. Sayang karena saat itu kami yang kebanyakan tingkat III mulai disibukkan dengan urusan Kuliah Kerja Nyata (KKN), Magang, Praktek Lapang (PL), dan kemudian penelitian, dengan terpaksa Moment tak terbit lagi.
Suatu saat, di tahun 1991, saya sudah tingkat IV, ketika saya sedang sibuk menyelesaikan laporan Praktek Lapang di Puslitbang Oseonologi LIPI di Rizky Komputer di Babakan Tengah 21, saya mendengar ribut-ribut di rental komputer milik kawan saya, Khairullah Saleh itu. Saya lihat Kang Bowo tampak sedang galau. Tapi ketika saya tanya, dia hanya tersenyum kecut.
"Nggak popo...," ujarnya.
Belakangan saya mendapat kabar, saat itu semua data penelitiannya --tentang ekonomi perikanan-- hilang semua. Semua gara-gara disketnya --jaman itu kami masih menyimpan data komputer dengan memakai disket alias floopy disk-- rusak karena kena jamur. Akibatnya seluruh draft skripsi yang sudah ditulis sebagian, berikut data-data penelitiannya tak bisa diselamatkan lagi. Tampaknya hal itulah yang membuat Kang Bowo tak bersemangat untuk menyelesaikan studinya lagi. Sementara kepada Kang Muarif, Kang Bowo pernah mengatakan bahwa jika dirinya lulus justru ada beban berat baginya. Namun Kang Bowo tak mau bercerita tentang beban berat itu.
Kang Bowo kemudian semakin sibuk dengan kegiatan dakwah dan jurnalistik. Saya pernah pula diajak Kang Bowo mendampingi training untuk kawan-kawannya yang aktif di Santer (Santri Terbang) di Payaman, Magelang, di Gejayan, Yogyakarta, dan juga di Solo, Jawa Tengah. Sementara, saat itu dia pun mulai banyak menulis di media umum, baik koran maupun majalah, juga untuk majalah Islam, majalah remaja, dan juga selebaran dakwah. Sampai akhirnya, Kang Bowo seolah sudah benar-benar melupakan cita-citanya menjadi Insinyur, dan kemudian menikah dengan Mbak Nurbaity Rohmah yang ternyata juga tak sempat menyelesaikan S1-nya di jurusan GMSK...
Lulus kuliah, saya ditawari Pak Dr Rokhmin Dahuri (kemudian menjadi Prof. Dr. dan Menteri Perikanan dan Kelautan) untuk menjadi dosen di Fakultas Perikanan. Tampaknya beliau tertarik saat membaca skripsi saya, saat saya meminta beliau menjadi dosen penguji tamu. Kebetulan penelitian saya, penelitian pertama di Indonesia tentang fitoplankton pemecah minyak dalam wahana Mesokosm. Judulnya “Efek Minyak Mentah Attaca 139o API, Terhadap Laju Fotosintesis dan Fotosintesis Maksimum Fitoplankton pada Sebuah Mesokosm.” Pada saat hampir bersamaan, saya ditawari Dr Deddy Setiapermana, Kepala Litbang Lingkungan Laut LIPI, pembimbing skripsi saya, untuk menjadi peneliti di LIPI. Mungkin karena beliau melihat keseriusan saya. Ketika saya bercerita soal tawaran itu ke Kang Bowo, dia hanya berkomentar pendek, “Sip... Bismillah...”
Sambil menunggu formasi dosen, saya ditawari Pak Rokhmin untuk magang di Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) IPB. Saya berada di bawah Pak Rokhmin bersama sahabat saya Luky Andrianto --kini Profesor Doktor dan menjadi Dekan Faperikan IPB-- dan Yus Rustandi. Di lembaga itu, bersama sahabat saya Ria Subiantari, saya sempat mengerjakan survey perairan untuk laporan Pencemaran di Teluk Jakarta tahun 1993. Selain itu, saya juga menjadi asisten Pak Rokhmin untuk mata kuliah Biologi Laut dan Ekologi Laut.
Namun kebetulan saat itu ada kebijakan zero growth pegawai negeri. Jadi proses untuk menjadi dosen ataupun menjadi peneliti tertunda. Sementara, saat itu saya juga menyadari bahwa untuk menjadi dosen di IPB, urutan saya mungkin di antrian ke sekian belas, sementara untuk di Puslitbang Lingkungan Laut LIPI saya entah urutan ke berapa. Maka setelah berpikir panjang, meminta izin orang tua yang awalnya agak keberatan dengan pilihan saya, akhirnya saya mengikuti jejak Kang Bowo, terjun di dunia jurnalistik.
Juni 1994 saya diterima menjadi calon reporter di Majalah Forum Keadilan. Saat itu Kang Bowo sudah menjadi penulis lepas di berbagai media, dan kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Jurnal Halal LPPOM MUI bersama Ahmad Husein, Kang Nuim Hidayat, Kang Sumunarjati, Kang Nurwahid, Mas Iqbal Setyarso, Mbak Elvina Rahayu dan Mbak Muti Arintawati. Ketika sudah sama-sama menjadi jurnalis, kami masih terus saling berkabar dan bertukar informasi.
Suatu ketika saya diminta Kang Bowo untuk menyiapkan edisi pertama Tabloid BKSPPI, dan diajak bertemu Ustadz Didin Hafidhuddin di Kantor BKSPPI di Bogor. Konsep sudah saya siapkan, dummy edisi pertama sudah jadi, sayang proyek itu tak berlanjut karena persoalan dana. Sementara, saat angin Reformasi bertiup, Kang Bowo dan Mas Adian Husaini pernah mengajak saya bergabung ke Koran Abadi -- Koran milik Masyumi di masa lampau. Tapi karena kebetulan saya baru saja dipercaya menjadi penanggung jawab rubrik Nasional di Majalah Forum Keadilan, saya tidak bisa memenuhi ajakan mereka.
Di saat yang lain, ketika Ustadz Mashadi, Mas Aru Seif Asad, Mas Gatot, dan Kang Bowo atas dorongan Mas Sabrun dan Mas Sudadi, punya ide membuat tabloid Suara Islam, saya tak mampu menolak. Saya yang semula hanya diminta untuk membuatkan konsep redaksi dan lambang Suara Islam, akhirnya diminta Kang Bowo untuk membantu-bantu menulis, sebagai kontributor tabloid Forum Umat Islam itu.
Selain aktif di dunia jurnalistik, Kang Bowo juga sangat aktif di lapangan kemanusiaan dan kebencanaan. Aktifitasnya dijalaninya seiring dengan kegiatannya di bidang jurnalistik. Sering kali kami sempat bertemu dalam suatu acara, tiba-tiba keesokanharinya dia sudah sampai ke Aceh, Mentawai, Pedalaman Nusa Tenggara Timur, Ambon, dan sebagainya. Sebagai wartawan, saya sering mendapat informasi bencana on the spot dari Kang Bowo yang tiba-tiba sudah nongol di Aceh saat Tsunami, di Merapi saat erupsi, di Palu saat bencana gempa dan likuifaksi, gempa di Lombok, saat mengirim bantuan ke Cox Bazar Bangladesh serta di Rohingya, dan sebagainya.
Kadang-kadang saya baru tahu kalau Kang Bowo tiba-tiba sudah sudah menclok di berbagai daerah lewat posting-postingnya di Facebook dan juga di grup WA. Captionnya lebih sering lucu dan menertawakan dirinya sendiri, kadang serius, kadang kontemplatif sambil mengutip sebait lagu Gun n’ Roses, Bon Jovi, dan kadang Ahmad Albar. Dalam posting tanggal 16 Septemner 2018 misalnya, dia mengutip vokalis God Bless yang dia plesetkan seditit:
“Di saat ini ingin kuterlena lagi
Terbang tinggi di awan
Tinggalkan bumi di sini
Di saat ini ingin kumencipta lagi
Kan kutuliskan buku
Sambil kukenang wajahmu...”
feat: iyek godbless.
Tak hanya berkunjung saat bencana, sebagai staf di Dompet Duafa, lalu Lazis PPPA Darul Quran, Laziz Al Azhar Peduli Ummat, dan kemudian Koordinator Penyaluran Bantuan di Lazis DDII, Kang Bowo rajin menyambangi para dai di daerah terpencil. Pernah suatu saat saya mendapat kabar ketika dia terdampar di belantara Halmahera, untuk bertemu dengan da’i yang ditugaskan di tempat terpencil itu. atau bertemu dai di pedalaman Mentawai dan sebagainya. Kang Bowo pun sering berkunjung menemui para mualaf dan kaum dhuafa di pelosok negeri. Dalam berkomunikasi dengan para mualaf dia sangat luwes dan penuh empati. Mungkin karena dia terlahir dalam keluarga yang tidak semuanya muslim, sehingga mampu memahami persoalan keyakinan yang berbeda dalam satu keluarga.
Membaca timeline foto dan posting Kang Bowo sering membuat saya tertawa ngakak, kadang terharu, tapi juga kadang iri. Iri karena ingin punya kesempatan muhibbah dakwah seperti dia. Suatu saat, dia tampil di foto timeline facebooknya dengan baju dan celana belepotan lumpur yang sudah mengering sambil membawa bantuan untuk para dai –saya sudah mencoba mencarinya di laman Facebook miliknya tapi tidak ketemu, mungkin di laman facebook lamanya yang sudah hangus-- saya tiba-tiba teringat pada kisah Nabi dengan seorang sahabat yang bajunya penuh debu saat berjihad, dan Rasulullah pun menjanjikan surga lantaran debu-debu itu.
Saya pun berkomentar, “Semoga debu-debu di bajumu mengantarmu ke Surga, Kang...”
“Aaamiin...,” jawabnya.
Karena merasa iri dengan semua yang dilakukan Kang Bowo dalam kepeduliannya terhadap ummat dan bangsa, beberapa kali saya pernah minta untuk diajak saat dia berkunjung ke pelosok daerah.
“Kalau mau ke mana-mana tolong beri tahu sebulan sebelumnya ya, Kang... Biar aku bisa ngajuin cuti dan ikut sama Kang Bowo...”
“Oke, Sip...”
Beberapa kali dia memberi tahu saya bahwa dia akan mengunjungi mualaf atau dai di pelosok tanah air, tapi ndilalah saya selalu sedang ada tugas kantor. Hingga akhirnya saya tidak pernah bisa ikut muhibbah dakwah bersamanya. Maka ketika Kang Bowo dan Ahmad Husein mengajak saya ikut berkiprah di Aksi Relawan Mandiri HA IPB, satu setengah tahun yang lalu, saya langsung mengiyakan. Sayang lagi-lagi saya tak pernah sempat turun ke lapangan bersama Kang Bowo.
Kang Bowo tak pernah berhenti mengunjungi para dai dan mualaf. Karena itu pula, sejak pekan lalu dengan ringan hati ia mendamping Ketua Umum DDII Ustadz Dr Adian Husaini muhibbah ke Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu, meski kondisi fisiknya tak prima lagi. Ketika acara muhibah usai, Kang Bowo pun meneruskan perjalanan dakwahnya dari Bengkulu ke Padang lewat jalur darat. Namun rupanya, Allah SWT lebih menyayanginya, dan dia pun dipanggil ke haribaan-Nya.
Ketika Mbak Nana Mintarti mengirim foto Almarhum saat masih disemayamkan di dragbar Puskesmas di grup WA Mantan LDK, air mata saya pun tak tertahankan.
Di antara isak tangis, saya pun mandaraskan doa, “Semoga debu-debu yang melekat di pakaianmu itu, mengantarmu ke Surga, Kang...”