oleh: Muh. Nurhidayat
Jurnalis Ummat TV
Seorang lelaki, guru honorer sebuah sekolah swasta, sedang dibelit masalah. Sudah beberapa bulan honornya tidak dibayarkan oleh pihak sekolah. Padahal honornya juga terlalu kecil, hanya 25 persen dari upah minimum kota (UMK) yang ditetapkan pemerintah daerahnya. Dengan kata lain, ia harus ekstra sabar diperhadapkan pada kenyataan, bahwa upah buruh pabrik yang berpendidikan rendah. ternyata 4 x lipat lebih banyak dari jumlah honornya yang lulusan sarjana.
Ia telah menikah dan dikaruniai beberapa anak. Selama beberapa bulan itu, ia sering terpaksa (dan dipercaya) ngebon di sebuah warung kecil ‘serba ada’ di sekitar rumah kontrakannya, untuk memenuhi kebutuhan harian rumah tangganya. Sering juga ayah mertuanya yang pensiunan PNS golongan rendah di kampung men-trasfer uang ala kadarnya, untuk membayar rekening air, membeli token listrik, serta uang jajan anak-anaknya.
Sebenarnya, ia telah dibantu istrinya yang berbisnis kecil-kecilan membuat kanre jawa (jajan pasar). Kanre jawa itu dititipkan di sekolah dan warung sekitar rumah. Namanya saja bisnis kecil-kecilan, usaha tersebut hanya memiliki omzet dan keuntungan yang sangat sedikit, karena dibelit modal. Setidaknya, dari membuat kanre jawa itu, anak-anaknya juga bisa ikut menikmatinya saat sarapan dan bekal sekolah, sehingga uang jajan mereka dapat dihemat. Jika ada kanre jawa yang tersisa (tidak terjual), kembali dinikmati anak-anak mereka beserta teman-teman sekitar rumah yang umumnya anak kaum dhuafa.
Ia sebenarnya ingin mencari penghasilan tambahan dengan menjadi ojol, namun sepeda motor pun tidak dimilikinya. Tidak jarang ia dan istrinya ditawari kredit oleh bank titil (rentenir keliling kampung) untuk membeli sepeda motor agar bisa dipakai ngojol, modal usaha kanre jawa, atau sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Namun mereka menolak tawaran itu, karena ingat bahwa kredit berbunga adalah riba yang dilarang keras oleh agama. Lagipula mereka juga tahu, bahwa para debt collector yang ditugaskan bank titil sering berlaku tidak simpatik kepada para nasabah yang tidak bisa membayar cicilan kredit. Paling minimal debt collector akan misuh-misuh (mengumpat) jika tidak diberi nasabah uang cicilan kredit.
Masalah semakin berat dirasakannya ketika honor belum juga ‘cair’, sementara biaya kontrakan rumah sudah harus dibayar. Ia dan anak-istrinya dilarang menempati rumah kontrakan tersebut. Mereka diusir pemilik rumah.
Beruntung ia sekeluarga grapyak (ramah) kepada para tetangga, dan juga guyub (membaur) di lingkungannya, sehingga ditolong oleh para tetangganya untuk segera pindah dari rumah kontrakan tersebut. Ada tetangga yang sibuk berkeliling kampung dan browsing informasi di internet untuk mencari rumah yang akan ditempati. Ada tetangga yang mencari pinjaman mobil pick-up untuk dipakai boyongan (mengangkut barang-barang). Bahkan pemilik mobil pick-up tersebut menyedekahkan sejumlah uang agar bisa dipakai membayar uang muka kontrakan rumah yang baru.
Akhirnya, tidak dibayangkan sebelumnya, ia dan anak istrinya pun bisa menempati rumah kontrakan baru, yang kondisinya sangat memprihatinkan. Bangunan rumahnya sangat sempit dan pengap, nyaris tidak ada ventilasi kecuali melalui jendela ruang tamu dan beberapa lubang angin yang dipasang ala kadarnya pada kamar tidur. Bisa dikatakan, rumah tersebut bukan lagi bertipe RSS (rumah sangat sederhana). Tetapi sudah bisa dikatakan RS9 (rumah sangat sedehana, sempit sekali, sedikit semen, selonjor saja susah).
Selain itu, WC rumah tersebut juga sering mampet dan bau septic tank sering menyebar yang terpaksa dicium di dalam rumah tersebut. Ketika istrinya memasak, maka bau dan asap dapur akan menyebar di dalam rumah karena tidak dilengkapi ventilasi yang standar.
Setelah pindah ke rumah kontrakan RS9 tersebut, anak-anaknya dikucilkan oleh sebagian teman-teman main mereka. Beberapa anak tetangga dilarang bermain dengan mereka, karena orangtuanya (yang umumnya berpendidikan rendah) takut ketularan bernasib susah, seperti yang dialami mereka. Dan penderitaan-penderitaan lainnya pun dirasakan mereka.
Ia sempat merasakan depresi berat, karena terus-menerus dibelit masalah dari berbagai sisi. Ekonomi keluarganya bermasalah, namun ia dan anak-istrinya tidak diberi santunan sebagai keluarga pra-sejahtera, sulit mengurus surat miskin, karena pendidikannya sarjana dan pada identitas tertulis bekerja sebagai “guru”. Secara administratif, sulit rasanya seorang sarjana dan bekerja sebagai guru diberi SKTM (surat keterangan tidak mampu).
Meskipun diketahui bahwa tingkat pendidikannya tinggi (sarjana) dengan pekerjaannya sebagai guru, ia tidak mampu membayar BPJS kesehatan. Ia terpaksa menunggak bayar BPJS, bukan karena tidak mau, tapi tidak memiliki uang yang bisa dipakai untuk membayarnya.
Ia pernah dihantui perasaan sebagai pribadi yang gagal, tidak mampu memenuhi (apalagi membahagiakan) keluarganya secara ekonomi. Beberapa kali ia mencoba untuk bunuh diri, karena merasa tidak kuat menanggung sangat beratnya beban hidup yang dipikulnya. Namun hal tersebut selalu diurungkannya, karena sadar bahwa bunuh diri merupakan dosa besar yang tidak akan memperoleh ampunan dari Allah swt.
Beratnya beban tersebut, membuatnya pernah mengungkapkan perasaan hatinya kepada istrinya, bahwa ia rela ditinggalkan istrinya. Ia tidak kuat melihat anak-istrinya ikut menderita karena masalah ekonomi yang dialaminya. Ia pernah menangis di hadapan istrinya, dengan mengatakan bahwa jika mau, istrinya bisa mencari laki-laki lain, yang mungkin bisa diberi materi dan kebahagiaan yang tidak diberikannya.
Itulah kegetiran hidup seorang sahabat, yang pernah dialaminya dan diceritakan secara detail kepada penulis. Sebenarnya ada sisi pengalaman hidup sahabat penulis tersebut, yang jauh lebih memprihatikan lagi, namun tidak bisa dituliskan dalam artikel ini. Namun demikian, sahabat penulis itu dapat digolongkan sebagai orang yang sangat beruntung. Sebab ia dikaruniai anak-istri yang setia kepadanya, meskipun ikut merasakan kegetiran hidup sebagai keluarga guru honorer.
Realitasnya, tidak sedikit guru honorer laki-laki yang dicerai istrinya. Istri mereka tidak kuat, tidak hanya karena kecilnya honor, namun honor yang jauh dari kata layak itu seringkali tidak dibayar tepat waktu. Ada pula guru honorer yang tidak bisa ditolong lagi ketika bunuh diri akibat depresi berat akibat kekurangan ekonomi. Bahkan ada guru honorer yang dibelit hutang berbunga dari bank titil maupun jasa pinmanan online (pinjol), hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya.
Pada Agustus 2021, negara Indonesia yang kita cintai telah genap 76 tahun dberi kemerdekaan oleh Allah swt. Namun para guru honorer kita belum dapat memekikkan kata “merdeka” karena mereka memang belum dibebaskan pemerintah dari kemiskinan. Ada lebih dari 1,6 juta guru honorer sekolah negeri telah didata pemerintah, dan ada jutaan lain guru honorer swasta yang belum didata. Nasib mereka seolah dilupakan pemerintah. Mereka belum diangkat sebagai ASN. Honor, apalagi kesejahteraan mereka belum dipenuhi secara layak. Mari menghilangkan ironi pada masa pemerintahan yang minim empati kepada guru honorer yang selama ini tidak pernah disejahterakan. Wallahualam.
Tags: guru, honorer, guru honorer, pemerintah, minim, empati