Oleh : Dr. Samsul Basri.
Ummattv, Penentuan awal dan akhir Ramadhan sering kali
didiskusikan dan dijadikan polemik. Tulisan ini tidak untuk
membahas seperti apa bentuk diskusi dan polemiknya,
biarkanlah hal itu menjadi perbincangan para pakar dan
ahlinya. Tulisan ini mengajak untuk mencari benang merah
berdasarkan petunjuk Ilahiyah.
Pada dasarnya di negeri kita ini dikenal dua metode dalam penentuaan awal dan akhir
Ramdhan. Pertama, ditentukan berdasarkan wujūdu al-hilāl
(keberadaan bulan). Kedua, berdasarkan imkaniyyatu al-hilal
(kemungkinan terlihatnya bulan).
Penjelasan sederhananya,
wujuudu al-hilal dapat dipastikan dengan ilmu hisab, yaitu
melalui pengkajian dan pengamatan pada peredaran matahari
dan juga bulan di garis edarnya. Dalilnya bisa dirujuk pada surat Yunus (10) ayat 5. Pada ayat tersebut, penggalan ayat yang artinya, “Supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).” menurut para mufassir, diantara hikmah ditetapkannya manazilah (tempat-tempat peredaran) bagi matahari dan bulan supaya manusia dengan ilmu pengetahuan, dapat mengetahui jumlah bilangan tahun, menentukan kapan masuk dan berakhirnya, bagaimana perhitungan waktu-waktunya, berapa jumlah harinya sampai perhitungan jam-jam setiap harinya. Dasar inilah yang menguatkan penentuan awal dan akhir Ramadhan dengan ilmu hisab.
Sedangkan imkaniyyatu al-hilal
hanya dapat dipastikan dengan ru’yatu al-hilal yaitu dengan melihat bulan secara langsung ataupun dengan alat teknologi sebagai perantara, pada malam ketigapuluh sya’ban untuk
penentuan awal Ramadhan dan atau pada malam ke tigapuluh
Ramadhan untuk penentuan berakhirnya. Diantara dalil yang dijadikan rujukan, hadits Nabi saw :
Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila pandangan kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya'ban menjadi tiga puluh. (HR. Bukhari)
Inilah yang difatwakan oleh sejumlah ulama bahwa puasa dilaksanakan karena sebab melihat hilal, demikian pula akhir Ramadhan ditentukan dengan sebab melihatnya. Sekiranya hilal tidak terlihat maka yang wajib adalah menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 hari kemudian berpuasa pada hari berikutnya. Demikian pula di akhirnya dengan menyempurnakan Ramadhan menjadi 30 hari kemudian berbuka (tidak berpuasa) di hari berikutnya.
Sebagai masyarakat kaum Muslimin yang Mayoritas di Indonesia, manakah dari kedua metode di atas yang sebaiknya diikuti?!
Insya Allah akan dibahas pada tulisan kami berikutnya dengan judul Puasa, Lebaran, dan Persatuan.