Oleh:
Dr. Ilham Kadir, MA., Ketua GPMB Enrekang; Dewan Pembina Ikatan Alumni Beasiswa BAZNAS RI
Sentris berasal dari bahasa Yunani, kentron, yang berarti pusat. Sentris merupakan pusat daya tarik, orang-orang selalu ingin tahu, pusat perhatian, bahkan memiliki ketergantungan yang tinggi untuk dapat bertahan hidup lebih baik.
Sebagai praktisi zakat, saya menyaksikan bahwa masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam di beberapa daerah mulai menyadari akan manfaat syariat zakat. Dan tidak sedikit orang yang memang menggantungkan harapan hidup, kelangsungan hidup, perjalanan hidup, hingga masa depannya dalam kehidupan ini dari zakat, infak dan sedekah. Mereka yang menumpukan hidupnya dari dana zakat, infak dan sedekah dalam ilmu fikih disebut 'mustahik'.
Begitu penting dan berharganya zakat dalam kehidupan sebagian umat Islam sehingga zakat ini menjadi titik sentral dari kehidupan mereka, zakat telah menjadi sentis atau zakat sentris bagi sebagian umat Islam. Tidak melulu menjadi pusat daya tarik bagi para mustahik, tapi juga kepada para muzakki. Mereka yang dengan ikhlas dan sukarela berzakat hidupnya lebih nyaman, tentram, dan bahagia, keluarga pun makin sejahtera, sedangkan harta miliknya akan terus bertambah, melimpah, tumbuh, berkembang dan berkah sesuai makna zakat secara bahasa.
Sejak terbitnya undang-undang pengelolaan zakat mulai dari era Presiden BJ Habibie rahimahullah yakni Undang-Undang Zakat No 38/99 walau UU tersebut belum dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah. Beda dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyempurnakan UU No. 38 tahun 1999, terbitnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 disempurnakan dengan PP Nomor 14 tahun 2014 tentang pengelolaan zakat, maka pengelolaan zakat pun kian profesional, dan semua itu tidak bisa dilepaskan dari jasa inisiator, peletak dasar dan sekaligus Ketua Baznas RI yang pertama, Prof. Didin Hafhiduddin. Maka masyarkat Indonesia wajib bersyukur kepada beliau atas jasa-jasanya dalam meletakkan pondasi lembaga negara yang bernama Badan Amil Zakat Nasinal atau Baznas tersebut. Tidak hanya itu, selain Baznas negara juga mengakomodir pengelolaan zakat yang dibentuk oleh masyarakat khususnya dari organisasi kemasyarakatan. Intinya, pemerintah ingin agar pengelolaan dana umat lebih profesional, akutabel, amanah, dan punya landasan hukum yang jelas, aman syariat, aman regulasi, dan aman NKRI.
Maka, selain permasalahan mustahik dan muzakki, beberapa masalah lain dalam pengelolaan zakat yang harus segera dibenahi agar masyarakat umum makin merasakan akan manfaat zakat tersebut. Mulai dari minimnya literasi zakat, kualitas SDM, regulasi zakat di berbagai daerah masih belum lengkap dan sebagian masih bermasalah, hingga dukungan pemerintah atas eksistensi Baznas di daerah.
Jika merujuk pada data statistik Pusat Kajian Strategis Baznas RI, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam yang mengetahui tentang zakat berkisar 48 persen. Mereka secara umum mengetahui secara sekilas, atau di permukaan, namun jika ditanya lebih dalam tentang janis harta yang harus dikeluarkan zakatnya, pengertian haul, nishab, dan sebagainya, maka tentu yang paham masalah ini makin mengecil.
Masalah ini muncul karena secara umum para muballig, ustad, kiai atau ulama kita tidak banyak yang menyebarkan materi dakwah terkait zakat, infak dan sedekah secara konprehensif. Kalau pun dibahas, umumnya pada malam ke sepuluh di akhir Ramadhan, itu pun materinya lebih spesifik ke zakat fitrah.
Dan yang lebih fatal lagi, masih banyak pimpinan dan amil di Baznas yang juga belum melek literasi zakat, hanya paham buih-buihnya saja, sehingga tidak mudah memberikan informasi yang benar kepada khalayak tentang ketetapan aturan dan hikmah yang terkandung dalam syariat zakat. Kuncinya, harus terus menerus belajar tentang fikih zakat, walaupun bukan berasal dari latar belakang sarjana agama sebab syariat zakat adalah ilmu fardhu ain yang wajib dipelajari dimengerti bagi seluruh umat Nabi Muhammad. Apalagi yang berstatus sebagai amil, jangan hak amilnya saja dikejar tapi tidak mau tau belajar. Ingat, para amil yang tidak punya ilmu zakat tidak akan memberikan manfaat bagi umat, faaqidusy sya'i laa yu'thi.
Jika literasi zakat telah memasyarakat, para muballig menyiarkan ilmu zakat dengan masif, para ulama memberikan fokus kajian zakat mal lebih mendalam, dan para jamaah, baik muzakki maupun mustahik makin paham tentang zakat, maka zakat sentris benar-benar membawa kemaslahatan bagi umat Islam secara umum, dan bangsa Indonesia secara khusus.
Di sinilah letak pentinganya SDM amil. Selain memahami zakat secara syariat dan hukum positif, juga dibutuhkan tata kelola yang baik. Membuat perencanaan yang matang dan realistis. "Pekerjaan yang baik tanpa perencanaan hanya akan menjadi sulit, perencanaan yang baik tanpa pelaksanaan hanya akan menjadi arsip", kata Jusuf Kalla.
Untuk mengukur kinerja, maka lembaga zakat, baik Baznas maupun swasta harus punya rencana strategis (Renstra) dari sini dapat terlihat apa saja yang akan dicapai sebuah lembaga pada masa satu priode kepemimpinan. Dari Renstra tersebut disusunlah Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) dari RKAT tersebut dapat dipahami apa saja Indikator Kata Kunci atau (IKK) yang harus digapai.
Setiap pekerjaan harus dilandasi dengan ilmu "al-'ilm qabalal qaul wal 'amal", demikian juga sebagai amil, harus paham tugas dan fungsinya. Selama berjalan di jalan yang benar dan tepat, bekerja dengan profesional dan amanah, maka Allah, dan RasulNya bersama orang-orang yang beriman akan menjadi saksi atas pekerjaan yang kita lakukan, demikian firman Allah dalam surah At-Taubah ayat ke-105, hanya berselang satu ayat sebelumnya yang berisi perintah Allah kepada para amil untuk mengambil zakat dari sebagian harta para muzakki, agar zakat itu membersihkan harta mereka dan menyucikan jiwa para muzakki, sekaligus wajib didoakan semoga doa amil menentramkan jiwa mereka. Sesungguhnya Allah Maha mendengar doa para amil dan Maha mengetahui apa yang dilakukan para muzakki. Wallahu A'lam!