Wakaf intelektual membuka jalan luas bagi umat Islam untuk terus beramal meski tanpa harta.
Pewarta : Anwar Aras
Selama ini, wakaf lebih dikenal dalam bentuk tanah, bangunan, atau uang tunai. Namun seiring berkembangnya zaman, muncul bentuk wakaf yang tak kalah penting dan berdampak luas, yakni wakaf intelektual, wakaf yang bersumber dari hasil pemikiran, karya, atau ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi umat. Bagian dari Aset Wakaf Bergerak Menurut Ustadz Hendri Tanjung, Ph.D, anggota Badan Wakaf Indonesia (BWI) dua periode (2017–2020 dan 2020–2024), wakaf intelektual termasuk kategori aset wakaf bergerak yang sah secara hukum dan diakui oleh undang-undang di Indonesia. “Namanya wakaf hak kekayaan intelektual. Itu termasuk aset wakaf bergerak yang memang di undang-undang diakui,” ujar Ustadz Hendri. Bentuk wakaf ini bisa berupa karya ilmiah, hasil penelitian, buku, atau produk hak cipta lain yang memiliki nilai manfaat bagi masyarakat luas. Dengan demikian, seseorang dapat berwakaf bukan hanya dari harta benda, tetapi juga dari ilmu dan karya yang dimilikinya. Teladan dari Praktik Nyata Sebagai contoh nyata, Ustadz Hendri sendiri telah mewakafkan hasil risetnya tahun 2023, berupa alat ukur untuk menilai kesehatan lembaga wakaf di Indonesia. Riset tersebut, lengkap dengan website pendukungnya, telah diserahkan sebagai wakaf kepada BWI. “Saya pribadi sudah melakukannya. Hasil riset saya tahun 2023 yang merupakan alat ukur untuk menilai kesehatan lembaga wakaf, saya wakafkan ke BWI termasuk websitenya,” jelasnya. Langkah tersebut menjadi inspirasi bahwa karya intelektual pun bisa menjadi amal jariyah. Selama karya itu terus digunakan dan memberi manfaat, pahala akan terus mengalir kepada penciptanya, meski ia telah meninggal dunia. Warisan Ilmu Para Ulama Ustadz Hendri menjelaskan, semangat wakaf intelektual sejatinya sudah lama dicontohkan oleh para ulama terdahulu. Mereka menulis kitab dan menyebarkan ilmu dengan niat ikhlas agar bisa dimanfaatkan umat tanpa batasan. “Ulama-ulama dahulu sudah paham betul itu. Begitu mereka menulis buku dan menyebarkan ilmu, maka itu menjadi amal jariyah bagi mereka sepanjang manusia belajar dan mengamalkannya,” ujarnya Direktur Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor Dari sinilah lahir pemahaman bahwa ilmu yang bermanfaat adalah harta abadi. Setiap kali karya itu dibaca, diajarkan, atau diamalkan, maka pahalanya tetap mengalir kepada sang penulis. Legalitas dan Pencatatan Resmi Wakaf intelektual juga dapat dibuat secara resmi melalui notaris. Pernyataan wakaf dan penerima manfaat (nazhir) dicatat agar memiliki kekuatan hukum. Dengan begitu, karya tersebut benar-benar menjadi milik umat dan tidak disalahgunakan. “Itu tinggal pernyataan saja, dan nanti di notaris biasanya dicatat bahwa itu sudah diwakafkan. Penerimanya pun ditetapkan secara resmi,” tambahnya.. Ilmu sebagai Amal yang Terus Hidup Wakaf intelektual membuka jalan luas bagi umat Islam untuk terus beramal meski tanpa harta. Melalui ilmu, penelitian, karya tulis, atau inovasi yang memberi manfaat, seorang Muslim dapat menanamkan amal jariyah yang tak terputus. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ, “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” Dengan semangat itu, wakaf intelektual menjadi wujud nyata dari ilmu yang terus hidup, menghidupkan amal, dan memberi manfaat bagi generasi setelah kita.
Program Cerdas Berwakaf
Bagi pembaca yang memiliki pengalaman baik sebagai wakif, nazir atau pemerhati tentang wakaf. Memiliki tulisan dan pengalaman bisa membagi melalui program Cerdas Berwakaf di portal on lne ummattv.com, bisa mengirimkan tulisannya di email [email protected] atau ke nomor wa 0811-172-271